Keagungan Cinta

Sayidina Ali bin Abi Thalib Berkata "Saling Mencintai Adalah Sebagian Dari Kebijaksanaan" (dalam Buku : Balada Cinta Suci Fatimah & Ali)
Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Minggu, 06 Maret 2011

Dinamika Perkembangan Rasa Agama "The Dinamic of Religious Conscience"

Oleh : Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy


Pendahuluan

Agama merupakan salah satu factor eksternal yang mempengaruhi kondisi psikologis manusia. Manusia memiliki kecendrungan untuk mengakui bahwa ada kekuatan yang Maha Dahsyat di luar dirinya yang dibahasakan dengan nama spiritual. Hardjana (2005, 24-25) mengatakan bahwa sifat spiritual paling tampak pada sifat transendennya. Transenden berarti mengatasi atau melampaui, hal baru yang belum ada dalam tahap hidup sebelumnya, hal yang demikian baru atau tinggi sehingga ada diluar segala hal yang pernah dijumpai dalam hidup sampai saat ini. Dengan sifat transendennya manusia jadi terbuka. Terbuka berarti bahwa dalam diri manusia tersedia ruang, terdapat dorongan, dan ada kemampuan untuk diisi dan dipenuhi oleh sesuatu. Berkat keterbukaannya, manusia memiliki kemungkinan, dorongan, dan kemampuan untuk mengerti, menerima, dan mencapai hal yang melampaui diri dan dunianya. Kemudian Hardjana (1995, 14-15) manusia beragama didorong oleh beberapa faktor utama, yaitu mendapatkan keamanan, mencari perlindungan dalam hidup, menemukan penjelasan atas dunia serta segala yang termaktub di dalamnya, memperoleh pembenaran atas praktik-praktik hidup yang ada, dan meneguhkan tata nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat, serta memuaskan kerinduan hidup.

Unsur penciptaan manusia itu sendiri terdiri dari ruh dan jasad. Nashori (2005, 23-24) mengatakan bahwa ruh yang ada di dalam diri manusia merupakan ruh ilahi (the spirit of god). Hanya manusialah makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi. Dengan adanya ruh ilahi ini manusia memiliki potensi-potensi ketuhanan dalam dirinya. Maksudnya, dalam diri manusia melekat sifat-sifat dasar atau potensi-potensi dasar sebagaimana yang dimiliki Allah. Kecendrungan manusia untuk bertuhan dan memiliki potensi spiritual jelas tergambarkan di dalam firman Allah Surat Al-A’araf [7] ; 172 :

“Dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbinya dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (QS. Al-A’araf [7] : 172).

Kondisi spiritual seseorang akan terlihat dalam kehidupan agamanya (religiousitas), menurut Hardjana religiousitas yaitu perasaan dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Allah, karena manusia telah mengenal serta mengalami kembali Allah, dan percaya kepada-Nya (Faoziyah, 2010, 24). Kemudian menurut Jalaluddin (2003, 69) mengatakan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orang tuanya. Rasulallah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulallah saw bersabda: “Tiada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim).

Perkembanngan religious seseorang bisa dipengaruhi oleh faktor internal (dirinya sendiri) dan faktor eksternal (lingkungan dan pengalamannya). Sehingga proses internalisasi nilai-nilai agama ini akan membentuk dinamika keberagamaan seseorang. Maka tidak jarang orang yang biasanya tidak religious menjadi religious, atau sebaliknya orang yang biasanya religious tiba-tiba menjadi tidak religious. Bahkan sebagian diantara mereka mengalami religious doubt (keraguan dalam beragama) dan religious conversion (perubahan keyakinan). Sebagaimanan yang diungkapkan Anshari (1991, 39-40) bahwa munculnya religiousitas karena terdapat sumber penyebab yaitu dari dalam diri manusia, apakah itu bersumber dari perenungan (philosofis) atau dari keimanan/keyakinan (theologis) atau juga dari mekanisme psikis (psychologis). Sumber utama dari mekanisme psikis ada kemungkinan mendapat pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan.

Anshari menambahkan bahwa perubahan kadang-kadang sering terjadi dalam religiousitas yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi psikis seseorang (religious consciousness) dan sebaliknya ada kemungkinan kondisi psikis akan berubah sedemikian rupa karena pengalaman religious (religious experience). Religiousitas ternyata bergerak secara dinamis sesuai dengan dinamika psikis dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan, bahkan keyakinan pun juga akan berubah secara dinamis pula. Dari sinilah kita akan melihat adanya satu mekanisme yang saling bertaut satu dengan yang lainnya. Secara teoligis orang yang memiliki keimanan yang mantap terhadap Tuhan, maka perubahan-perubahan dan dinamika psikis yang terjadi tidak akan keluar dari garis-garis baku yang ada dalam lingkup wawasan iman yang dimiliki, sehingga perubahan-perubahan dalam religiousitasnya senantiasa mengarah pada peningkatan bobot dan kualitas dan kalau toh terjadi perubahan iman akan mengarah kepada iman yang semakin kuat dan mantap. Tetapi, bagi orang yang belum memiliki iman yang mantap maka perubahan tersebut mengarah kepada dua kemungkinan, yaitu semakin berbobot dan berkualitas religiousitasnya dan semakin kuat dan mantap. Namun, bukan suatu hal yang mustahil apabila terjadi sebaliknya bahkan kemungkinan terjadi konversi. Kemungkinan terakhir inilah yang banyak terjadi pada mualaf.

Menurut Clark (dalam Darajat, 2005, 160) konversi agama (religious conversion) adalah suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran agama dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal. Dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.

Para psikolog agama berpendapat bahwa terjadinya konversi agama merupakan suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang memberi pengertian adanya perubahan arah yang sangat berarti dalam sikap terhadap ajaran agama ataupun dalam tingkah laku agama. Konversi agama menunjukan adanya suatu perubahan emosi secara mendadak (tiba-tiba/eksplosif), bisa bersifat sangat mendalam atau dangkal saja. Dan perubahan emosi tersebut bisa terjadi secara bertahap (Anshari, 1991, 13).

Fenomena mualaf merupakan salah satu bukti adanya dinamika religious pada seseorang. Dimana proses internalisasi nilai-nilai agama terus berkembang dari fase ke fase secara dinamis. Mualaf (orang yang masuk Islam) memiliki alasan masing-masing untuk memilih memeluk Islam. Sehingga realita menunjukan adanya perbedaan tingkat religiousitas pada mualaf. Misalnya di antara mereka ada yang berusaha memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara sungguh-sungguh. Namun, ada juga yang hanya sekedar masuk Islam, tapi mereka tidak memahami dan mengamalkan syari’at Islam dengan sungguh-sungguh.

“The Dinamic of Religious Conscience”

1. Pengertian

Religiusitas berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama, kesalehan, jiwa keagamaan. Henkel Nopel (dalam Ihsanudin 2007, 6) mengartikan religiusitas sebagai keberagamaan, tingkah laku keagamaan, karena religiusitas berkaitan erat dengan segala hal tentang agama.

Sedangkan menurut Susilangsih (dalam makalah Psikologi Agama, 2010) Religiousitas adalah Kristal-kristal nilai agama dalam diri manusia yang terbentuk melalui proses internalisasi nilai-nilai agama semenjak usia dini. Religiusitas akan terbentuk menjadi kristal nilai pada akhir usia anak dan berfungsi pada awal remaja. Kristal nilai yang terbentuknya akan berfungsi menjadi pengarah sikap dan perilaku dalam kehidupannya.

Menurut Clark (dalam Abdullah, 2006, 89-90) religious conscience adalah the inner experience of the individual when he senses a Beyond, especieally as evidenced by the effect of this experiencec on his behaviour when he actively attemps to harmonize his life with the Beyond (religious concience adalah pengalaman batin dari seseorang ketika dia merasakan adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan Tuhan).

2. Dimensi - dimensi religiusitas

Konsep tentang adanya dimensi Rasa keagamaan memberi pengertian bahwa kehidupan keagamaan memiliki beberapa sisi. Menurut Glock (dalam Abdullah 2006, 90-93) menyebutkan ada lima (5) macam dimensi komitmen keberagamaan, yaitu ritualistic, idiological, experiental, intelectual, dan qoncequetial. Kemudian Verbit (dalam Abdullah 2006, 91) setuju dengan konsep lima dimensi itu, namun dia menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi community. Secara rinci dimensi-dimensi rasa agama dapat diutarakan sebagai berikut:

a.) Religious believe (the ideological/doctrine commitment)

Dimensi rasa percaya yang mengukur seberapa jauh seseorang mempercayai doktrin-doktrin agamanya, misalnya tentang keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, ajaran-ajaranNya, takdirNya. Kepercayaan kepada Tuhan dan sifat-sifatNya merupakan inti pokok dari adanya rasa agama. Kemudian rasa percaya kapada ajaran-ajaran Tuhannya dapat digunakan untuk mengukur kemendalaman dari rasa percaya itu. Misalnya percaya tentang kepada ajaran tentang ajaran kewjiban peribadatan, moral, keadaan kehidupan setelah mati.

b.) Religious practice (the ritualistic commitment)

Dimensi peribadatan yang mengukur seberapa jauh seseorang melaksanan kewajiban peribadatan agamanya, misalnya tentang salat, puasa, dan ibadah wajib lainnya dalam Islam. Khusus untuk pengukuran dimensi ini difokuskan pada pelaksanaan lima (5) rukun Islam, sementara pelaksanaan ibadah sunnah dapat dimasukkan untuk pengukuran dimensi lain, yaitu religious feeling. Sering kali pengukuran peribadatan dapat terjebak dalam pengukuran rutinitas ibadah.

c.) Religious feeling (the experiental/emotion commitment)

Dimensi perasaan mengukur seberapa dalam (intensif) rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini bisa disebut sebagai esensi keberagamaan seseorang, esensi dimensi transendental, karena dimensi ini mengukur kedekatannya dengan Tuhannya. Pengukuran pada dimensi ini dapat menguatkan pengukuran pada dimensi ibadah. Pengukuran dimensi perasaan dapat dilaksanakan dengan mengamati seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu dilihat Tuhan, merasa selalu dekat dengan Tuhan. Bagi orang Islam indikator dalam perilaku dapat diamati pada seberapa sering (keaktifan) dalam menjalankan ibadah sunnah, kekhusukan dalam beribadah, kemendalaman doa, berbaik sangka kepada Allah dan ikhlas menerima segala takdir Allah, dan sebagainya. Dimensi ini akan sangat berasa dampaknya pada orang-orang yang mengalami konvensi agama.

d.) Religious knowledge (the intelektual commitment)

Dimensi pengetahuan atau intelektual mengukur intelektualitas keberagamaan seseorang. Dimensi ini mengukur tentang seberapa banyak pengetahuan keberagamaan seseorang, dan seberapa tinggi motivasi dalam mencari pengetahuan tentang agamanya. Dimensi ini juga mengukur sifat dari intelektualitas keagamaan seseorang, apakah bersifat tertutup (tekstual, doctrinel) ataukah terbuka (kontekstual). Dimensi ini juga dapat untuk mengkur sikap toleransi keagamaan seseorang, baik intern agama (terhadap berbagai pendapat golongan dalam agamanya) atau antar agama (terhadap ajaran lain).

e.) Religious effects (the concequqntial/ethics commitment)

Dimensi etika atau moral mengukur tentang pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan kesadaran moral seseorang, baik yang terkait dengan moral dalam hubungannya dengan orang lain. Bagi orang Islam pengukuran dimensi etika dapat diarahkan pada ketaatannya terhadap ajaran halal dan haram (makanan, umber pendapatan, hubungan laki-laki dan perempuan), serta hubungan dengan orang lain (baik sangka, agresif, menghargai, memuliakan).

f.) Community (social commitment)

Dimensi sosial mengukur seberapa jauh seorang pemeluk agama terlibat secara sosial pada komunitas agamanya. Dalam Islam dimensi ini dapat disebut sebagai pengukuran terhadap kesalehan sosial. Dimensi kesalehan sosial dapat digunakan untuk mengukur konteribusi seseorang bagi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, baik berwujud tenaga, pemikiran, maupun harta.

Keenam dimensi keberagamaan ini bisa menjadi dasar dalam mengetahui perkembangan dan rasa keagamaan yang dimiliki seseorang. Hal ini karena enam dimensi ini adalah bentuk ekspresi dari keagamaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek dalam keberagamaan.

3. Perkembangan religiusitas

Tahap-tahap perkembangan rasa agama menurut susilaningsih (makalah disampaikan pada pekuliahan Psikologi Agama, 2010) adalah:

Pertama, tahap pembentukan adalah tahap dimana masuk dan mengkristalnya nilai-nilai agama, berupa nilai-nilai dasar, dan ditunjukan dengan adanya tugas-tugas keagamaan, tahap ini berada pada usia anak.

Para ahli psikologi dari berbagai mazhab, seperti psikoanalisis, behavioris, dan humanis sepakat bahwa pada masa bayi dan masa kanak-kanak awal amatlah penting dan membawa pengaruh yang terbawa terus dalam struktur kepribadian. Sebab menurut Gleason (Crapps, 1994, 14) unsur-unsur keagamaan mendasar tertanam pada masa tahap-tahap awal pertumbuhan Psikososial dan keparalelan antara tugas psikososial dan konsep religious sangat penting. Crapps (1994, 14) mengatakan bahwa dalam pengalaman hubungan antar pribadi dengan keluarga, anak belajar pertama kali isi emosional iman religious. Pengalaman tentang konsep agama awal ini lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang sadar dikemudian hari.

Menurut Jalaluddin (2003, 70-73) ada beberapa sifat-sifat agama pada masa kanak-kanak, yaitu bersifat unreflektive (tidak mendalam), anthromorphis (konsep ketuhanan yang menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan), imitative (diperoleh melalui meniru), verbalis-ritualis (belajar mengucapkan kalimat-kalimat keagamaan dan kebiasaan), rasa heran (keheranan secara lahiriah saja). Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ramayulis (2007, 54-58).

Kedua, tahap pengembangan adalah tahap dimana mulai berfungsinya nilai-nilai dasar keagamaan kedalam konteks kehidupan dan pemaknaan nilai-nilai agama yang akan memberi rasa aman sebagai solusi kegoncangan jiwa, tahap ini berada pada usia remaja. Menurut Ramayulis (2007, 58) tahap perkembangan masa remaja menduduki tahap progresif yang mencakup masa: Juvenilitas (adolescantium), pebertas, dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama bagi remaja mengikuti perkembangannya itu. Maksudnya penghayatan dan tindakan keagamaan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perkembangannya itu.

Menurut W. Starbuck (Jalaluddin, 2003, 74-77) perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya, perkembangan itu antara lain adalah:

a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik lagi bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran-ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka juga tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

Pada masa remaja sifat kognitifnya berubah, dimana pada masa kanak-kanak mereka menerima nilai-nilai agama secara kongkrit, namun pada masa remaja mereka mulai mempertanyakan nilai-nilai kongkrit tersebut karena pola kognitif mereka berkembang ke arah nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Rochmah, 2005, 57-58) bahwa ada empat fase perkembangan kognitif, yaitu:

1. Fase sensori motorik, yaitu aktivitas kognitif yang didasarkan pada pengalaman langsung panca indera. Aktivitas belum menggunakan bahsa, sedangkan pemahaman intelektual muncul di akhir fase ini.

2. Fase praoperasional, yaitu anak tidak lagi terikat pada lingkungan sensori, kesanggupan menyimpan informasi semakin besar. Anak suka meniru orang lain dan mampu menerima khayalan dan suka bercerita tentang hal-hal yang fantastis.

3. Fase operasi kongkrit, yaitu anak mulai berfikir logis, bentuk aktivitas dapat ditemukan dengan peraturan yang berlaku. Karena anak masih berfikir harfiah sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan padanya.

4. Fase operasional formal, yaitu anak telah mampu mengembangkan pola-pola berfikir formal, logis, rasional, bahkan abstrak, mampu menangkap arti simbolis, kiasan, dan menyimpulkan suatu berita, dan sebagainya.

Menurut hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young (Jalaluddin, 2003, 74-75) menunjukan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak mempengaruhi remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

b. Perkembangan Perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan cenderung mendorong dirinya ke arah yang religious pula. Sebaliknya remaja yang kurang mendapatkan siraman ajaran agama akan cenderung dikuasai oleh nafsu seksualnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Dr. Kinsey (dalam Jalaluddin, 2003, 75 yang mengungkap bahwa 90% remaja di Amerika telah mengenal homoseks dan onani.

c. Perkembangan sosial

Corak keagamaan pada remaja juga ditandai dengan adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material.

d. Perkembangan Moral

Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencapai proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja juga mencakupi:

1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan peribadi.

2. Adaptive, mengakui situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.

3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.

4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.

5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyrakat.

e. Sikap dan Minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaannya boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

f. Ibadah

Bagi sebagian remaja ibadah merupakan hal sepele. Ini bisa dilihat dari ketaantan mereka dalam menjalankan ibadah sehari-hari.

Pada masa remaja dikenal sebagai usia rawan akan agama yang mereka terima. Remaja akan mengalami kehidupan batin yang terombang-ambing (strum and drang). Untuk mengatasi kemelut batin itu. Maka seyogyanya mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan. Para remaja memerlukan tokoh pelindung yang mampu diajak berdialog dan berbagi rasa (Jalaluddin, 2003, 81).

Dari hasil analisis penelitiannya W. Starbuck (Ramayulis, 2007, 61-63) menemukan penyebab timbulnya keraguan dan kebimbangan itu antara lain:

1. Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

a. Bagi seorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukan keraguan daripada pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.

2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama

Pertentang-pertentangan yang terjadi didalam organisasi keagamaan dan tindak-tanduk pemuka agama yang jauh menyimpang dari nilai-nilai agama akan menimbulkan keraguan pada remaja.

3. Pernyataan kebutuhan manusia

Manusia memiliki sifat conservative (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul kerguan.

4. Kebiasaan

Seseorang yang terbiasa dengan tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterima atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan akan ragu dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Namun, keraguan ini ada yang menimbulkan rasa penasaran dan kemudian mereka berusaha mencari kebenaran dengan memperbandingkan kedua ajaran tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan mereka pindah agama.

5. Pendidikan

Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang sesuai dengan tingkat pendidikan yang ia miliki akan membawa pengaruh sikap terhadap ajaran agamanya. Terutama yang mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi adanya kemampuan mereka menafsirkan ajaran agamanya.

6. Percampuran agama dan mistik

Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangn masyarakat kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktek kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.

Keragu-raguan yang demikian itu akan menjurus ke arah konflik dalam diri para remaja sehingga mereka dihadapkan kepada masalah pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk dan antara yang benar dan yang salah. Beberapa bentuk konflik yang terjadi antaranya:

a. Konflik yang terjadi sebagai antara percaya dan ragu.

b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.

c. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau jauh dari agama.

d. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan petunjuk ilahi.

Ketiga, tahap dinamik adalah tahap pematangan dan mulai berpengaruhnya nilai-nilai agama dalam conscience pada seluruh aspek kehidupan (agama sebagai “Way of Loife”), tahap ini berada pada usia dewasa. Menurut Sujanto (dalam Anshari, 1991, 89-90, 94) saat mengakhiri masa adolesen menuju masa dewasa pada umumnya orang akan berusaha menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya, menggariskan jalan hidupnya, bertanggungjawab, dan menghimpun norma-norma sendiri. Berdasarkan gambaran psikis tersebut, maka akan tampak kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup yang harus di anutnya atau agama yang harus dianutnya, menandakan bahwa agama yang dianutnya itu sudah berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan diperlukan dalam hidupnya.

Kestabilan dalam pandangan hidup keagamaan dan kelakuan religious seseorang bukan berarti bersifat statis, tetapi kestabilan yang dinamis, dimana suatu ketika akan terjadi perubahan-perubahan seiring dengan pengetahuan dan situasi-situasi yang mereka hadapi. Maka ada kemungkinan terjadinya religious konversion (pindah agama) karena seseorang mengalami kebimbangan, keraguan atau konflik. Masalah pendidikan yang melahirkan pemikiran baru atau anggapan bahwa ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan masa dan kehidupan.

Zakiah Darajat (dalam Anshari, 1991, 97) mengemukakan faktor-faktor terjadinya konversi adalah karena pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, ajakan dan sugesti, faktor-faktor emosi, dan kemauan.

Keempat, tahap pemeliharaan adalah tahap dimana agama menguasai tujuan dan aktifitas kehidupan (wordly ascetisme). Berada pada usia lanjut, menurut Jalaluddin (2003, 105-106) ciri keberagamaan lanjut usia adalah:

1. Kehidupan beragama pada lanjut usia sudah mencapai kemantapan.

2. Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan.

3. Mulai muncul pengakuan relitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.

4. Timbulnya rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

5. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.

6. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan akhirat.

Berdasarkan uraian perkembangan religiusitas di atas, maka James W. Flower (dalam Cremers, 1994, 96, 104, 117, 134, 160, 185, 218) membagi tahap perkembangan iman yang biasanya dilewati orang dalam pertumbuhannya:

1. Tahap kepercayaan awal dan elementer (primal faith) usia anak 0-2 atau 4 tahun. Ditandai dengan cita rasa yang bersifat praverbal terhadap kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang yang mengasuh dan lingkungan.

2. Tahap iman intuitif/proyektif (kira-kira umur 4-8 tahun). Dunia diberi arti lewat orang tua dan orang-orang dewasa lain yang berpengaruh, dengan memproyeksikan secara intuitif dengan meniru orang-orang dewasa.

3. Tahap iman mistis/literal (kira-kira umur 8-12 tahun). Arti dan makna hidup, dunia, manusia diambil dari orang-orang atau kelompok yang diikuti. Iman yang diperoleh dari jemaat berupa kisah-kisah dan ajaran-ajaran suci yang membuat lingkungan hidup, dunia, manusia menjadi bermakna. Kisah dan ajaran itu dimengerti secara harfiah, literal.

4. Tahap iman sintetis/konvensional (kira-kira umur 12-dewasa). Iman merupakan iman yang menyesuaikan dan mengambil arahnya dari kebiasaan yang ada, yang dipilih secara sadar. Iman itu membuat seimbang berbagai tuntutan yang datang dari kebiasaan-kebiasaan itu menjadi sintesis arti yang dapat dijadikan pegangan.

5. Tahap iman individual/reflektif-sadar (sesudah umur 17 atau 18 tahun). Iman itu menjadi pola iman yang dipilih secara pribadi dan secara sadar dipisahkan dari harapan orang lain. Iman itu bersifat otonom.

6. Tahap iman konjungtif (biasanya tengah umur atau sesudahnya). Iman itu menerima pandangan-pandangan yang berlawanan dan tak berhubungan satu sama lain dan membuatnya menjadi pola yang kokoh. Sistem imannya sendiri dipandang ada dalam keterkaitan dengan iman umat manusia.

7. Tahap iman yang universal (usia lanjut). Iman itu adalah iman orang kudus dimana Yang Akhir, bukan dirinya, dijadikan titik tujuan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan religious conscience

Faktor-faktor perkembangan rasa agama menurut Susilaningsih (makalah Psikologi agama, 2010), yaitu:

a) Pertama, faktor internal meliputi kodisi awal rasa agama (potensi), perkembangan kognisi, kondisi afeksi (emosi, motif, minat, dan sikap).

b) Kedua, faktor eksternal meliputi pengalaman dan pengetahuan, pendidikan, dan lingkungan.

c) Ketiga, faktor proses, yaitu terjadinya berbagai dinamika perkembangan pada masing-masing fase perkembangan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.

Berdasarkan uraian teori yang penulis kemukakan diatas maka dinamic religious conscience yang dimaksud di dalam makalah ini adalah sekumpulan proses atau tahap-tahap internalisasi nilai-nilai agama seiring dengan perkembangan usia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (diri sendiri) dan faktor eksternal melalui pendidikan, eksperien, pengaruh lingkungan, maupun agama itu sendiri dan faktor-faktor tersebut memungkinkan terjadinya perubahan agama yang bersifat konvesi ke agama yang lain (pindah agama).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A, dkk. (2006). Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidispliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga.

Anshari, H.M. (1991). Dasar-Dasar Ilmu Jiwa. Surabaya: Usaha Nasional.

Crapps, R.W. (1994). Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisus.

Cremers, A. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan: Menurut James W. Fowler, Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Faoziyah, Y. (2010). Hubungan Antara Tingkat Religiousitas Dengan Kecenderungan Perilaku Mengakses Situs Porno Pada Pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) “X” Di Kota Yogyakarta. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Hardjanan, A.M. (1995). Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius.

Hardjana, A.M. (2005). Religiositas, Agama dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius.

Ihsanudin, M. (2007). Dinamika Religusitas Pedagang Pasar Buah dan Sayur “Gemah Ripah” Gamping Sleman. Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Jalaluddin, H. (2003). Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rochmah, E.Y. (2005). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras

Nashori, F. (2005). Potensi-Potensi Manusia: Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susilaningsih. (2010). Makalah Psikologi Agama: Perkembangan Religious Conscience. Makalah tidak diterbitkan, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Terapi Marah Dalam Tinjauan Psikoterapi Islam

Oleh :

Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Latar Belakang

Allah SWT. menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna baik secara fisik maupun psikis. Manusia dianugerahi hati nurani (qalb), akal pikiran (al-‘aql), jiwa (an-nafs), dan ruh (ar-ruh) sebagai unsur psikis dan jasad (al-jism) sebagai unsur fisik. Antara unsur fisik dan unsur psikis tidak bisa dipisahkan, karena fisik yang tidak memiliki unsur-unsur psikis disebut mayat atau jenazah, sedangkan psikis yang tidak memiliki fisik disebut arwah.

Manusia bisa beraktualisasi dengan dunia nyata merupakan hasil bersinerginya unsur sistem fisik dan psikis. Terganggunya salah satu unsur ini akan menghambat manusia mengaktulisasikan potensinya. Jadi, unsur fisik maupun psikis saling mempengaruhi bekerjanya totalitas fungsi illahiyah dan fungsi kemanusian (khalifiyah) yang ada dalam diri manusia. Manusia akan bertindak semena-mena, tanpa mempertimbangkan perkara baik dan buruk, halal dan haram, bermanfaat dan mudharat merupakan akibat tidak bersinerginya unsur psikis dengan unsur fisiknya.

Emosi merupakan salah satu hasil kerja dari sinergi unsur fisik dan psikis. Menurut Walgito (2004) emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus), dan emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.

Emosi mempunyai bentuk yang berbeda-beda, misalnya senang, sedih, marah, takut atau gejala-gejala lain yang merupakan respon dari bekerjanya indera manusia. Salah satu emosi yang sering muncul dalam diri kita adalah emosi marah (ghadab). Marah merupakan salah satu satu fitrah manusia yang muncul ketika kebutuhan (needs) dan motif (motive) mereka terhalangi atau terhambat untuk dipenuhi. Menurut Al-Ghazali (dalam Mujib, 2007) penyakit marah (ghadab) disebabkan oleh dominasi unsur api atau panas (al-harȃrah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthȗbah) dalam diri manusia. Hal ini telah disabdakan oleh Rasulallah SAW. bahwa “Sesungguhnya marah itu bara api yang dapat membakar lambung anak Adam. Ingatlah bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang melambatkan (menahan) amarah dan mempercepat keridhaan dan sejelek-jelek orang adalah orang yang mempercepat amarah dan melambatkan ridha”. (HR. Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudriy).

Marah secara umum mengakibatkan terganggunya aktualisasi diri di dalam kehidupan kita atau marah merupakan penyakit jiwa yang ada di dalam diri manusia. Walaupun menurut sebagian pendapat ulama marah bisa menjaga kelangsungan hidup manusia dan menumbuhkan kekuatan untuk membela agama Allah yaitu dalam jihad fȋsabȋlillah.

Jika marah merupakan suatu penyakit (patologi) di dalam diri manusia, maka barang tentu ada obatnya. Rasulallah SAW. Bersabda “Allah tidak menurunkan suatu penyakit melainkan Allah juga menurunkan obatnya”. (HR. Bukhari). Pada tulisan sederhana ini kita akan mengakaji tentang bagaimana kita mengontrol kemarahan sehingga hubungan kita dengan Allah (hablumminallȃh) dan hubungan kita dengan manusia (hablumminannȃs) tidak terganggu.

Rasulallah SAW. telah mengajarkan kita untuk mengatasi rasa amarah yang ada di dalam diri kita. Amarah yang disertai dengan bisikan dan tipu daya setan akan mengakibatkan manusia tersesat dan terjerumus kepada murka Allah SWT. Maka Allah melalui syari’atNya yang agung ini melindungi kita dari segala kelicikan dan keburukan-keburukan setan. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7] : 200).

Rasulallah SAW. bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Hiban). Kemudian dalam hadis yang lain Rasul bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Selanjutnya di dari Imam Ahmad, dia meriwayatkan “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad).

Berdasarkan dalil-dalil nash tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa posisi atau keadaan tubuh bisa mempengaruhi emosi manusia, begitu juga dengan air (wudhu) yang memberikan efek positif untuk melawan rasa marah. Hal ini tentu berkaitan dengan keimanan seseorang terhadap Allah SWT. Jika dilandasi iman yang kuat tentu orang akan mudah percaya dengan obat yang ditawarkan Rasul ini. Namun, jika iman kita lemah atau bahkan tidak beriman maka barang tentu orang akan mempertanyakan perkataan Rasul ini. Disinilah permasalahannya, Islam merupakan agama yang rahmatallil’ȃlamȋnDan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyȃ’ {21} : 107). Maka disini kita berusaha melakukan objektifikasi keilmuan, yaitu penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif (Kuntowijoyo,2007). Dimana konsep-konsep yang bersifat mistis di dalam dalil-dalil naqli akan di terjemahkan sesuai dengan konteks saat ini tanpa mengubah hakikat dari syari’at Allah Yang Maha Sempurna. Sehingga rahmat yang dibawa oleh Islam bisa dirasakan oleh semua manusia, bukan cuma orang Islam, tapi seluruh umat manusia. Dengan begitu seluruh kebenaran-kebenaran yang ada dalam Islam akan diakui oleh seluruh umat manusia karena kebenaran Islam yang selama ini bersifat mistis (tekstual) telah diungkap secara kontekstual.

Psikoterapi Marah

A. Definisi psikoterapi marah

Di dalam Kamus Inggris-Indonesia (Echols & Shadily, 1984) mengartikan terapi secara bahasa adalah “Pengobatan physical” atau “Pengobatan jasmani”. Sedangkan menurut Chaplin (2005) therapy adalah satu perlakuan dan pengobatan yang ditujukan kepada penyembuhan satu kondisi patologis. Di dalam bahasa Arab kata therapy sepadan dengan Al-Istisyfȃ’ yang berasal dari kata Syifȃ’ – Yasyfȋ - Syafȋ yang artinya menyembuhkan (Munawir dalam Dzaky, 2008).

Psikoterapi (Psychotherapy) memiliki banyak pengertian karena penggunaan kata ini terdapat dalam berbagai bidang keilmuan, seperti bimbingan dan konseling (guidance dan counseling), psikiatri, case work, pendidikan, dan Ilmu Agama (Wahyudi dalam Dzaky, 2008). Sedangkan Psikoterapi Islam menurut Dzaky (2008) merupakan proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit, apakah mental, spiritual, moral, maupun fisik dengan melalui bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Nabi SAW. atau secara emipirik adalah melalui bimbingan dan pengajaran Allah SWT., Malaikat-malaikatNya, Nabi dan RasulNya atau Ahli waris para NabiNya.

Psikoterapi marah adalah suatu upaya atau proses pengobatan dan penyembuhan rasa amarah yang ada di dalam diri manusia dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Rasul SAW. Marah merupakan salah satu bentuk emosi yang mendorong manusia untuk melakukukan sesuatu yang biasanya akan berakibat buruk bagi dirinya maupun orang lain atau lingkungannya baik secara moril maupun materil.

Menurut Asy-Syahawi (2005) ada dua cara untuk mengatasi marah yang tengah bergejolak, yaitu dengan ilmu pengetahuan dan dengan amal perbuatan. Namun, pada bahasan ini kita akan mencoba menguraikan dan mendalami cara mengatasi marah dengan cara amalan (perbuatan) yang meliputi sebagai berikut:

Pertama, mengucapkan isti’ȃdzah ketika amarah datang, yaitu dengan mengucapkan “A’ȗdzubillȃhi minasysyaithanir rajȋm”, artinya aku berlindung dengan Allah dari Godaan Syetan yang terkutuk. Allah SWT. berfirman “Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf {7} : 200).

Kedua, berdiam diri. Dari Ibnu Abbas ra. menceritakan bahwa Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah maka hendaklah ia diam.” (HR. Imam Ahmad). Berdiam diri merupakan obat yang sangat mujarab untuk meredam rasa marah karena biasanya orang-orang yang sedang marah suka mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak baik. Ini disebabkan tidak terkontrolnya lisan karena dorongan nafsu setan yang kuat dari dalam dirinya. Maruq Al-Ajali pernah mengugkapkan suatu ungkapan yang indah dan bijak serta dalam maknanya “Aku tidak pernah kenyang dengan kemarahan, dan tidak pernah berbicara saat marah dengan sesuatu yang kelak akan menjadi penyesalan setelah aku memaafkan”.

Ketiga, merubah posisi. Dalam hal ini, jika kita sedang marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah kita duduk, kalau tidak reda juga maka hendaklah kita berbaring. Rasulallah SAW. pernah bersabda “Jika salah seorang diantara kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri maka hendaklah dia duduk (hal itu cukup baginya), jika marahnya reda. Namun, jika marahnya tidak reda juga maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban). Kemudian Rasulallah SAW. juga memerintahkan kepada kita untuk untuk menempelkan diri ke tanah, tujuannya agar kita semakin menyadari hakikat diri kita yang hina, sehingga bisa menghilangkan kesombongan dan keangkuhan yang ada di dalam diri kita. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry ra. yang berbunyi “Sesungguhnya kemarahan itu adalah percikan api yang menyala di dalam hati manusia, tidakkah kalian memperhatikan (orang-orang yang marah) kedua matanya memerah dan raut wajahnya mengerut? Jika salah seorang diantara kalian merasakan hal itu maka hendaklah ia menempelkan diri ke tanah.” (HR. Imam Ahmad).

Perilaku menempelkan diri ke tanah akan menimbulkan sifat rendah diri (tawadhu’), karena biasanya kemarahan disertai dengan rasa angkuh dan penuh kesombongan. Ketika kita menempelkan diri ke tanah, maka akan mengingatkan kita kepada asal mula penciptaan kita.

Keempat, segera untuk berwudhu. Ketika marah menghampiri seseorang maka hendaklah ia segera untuk berwudhu. Rasul SAW. bersabda “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api, dan api itu dipadamkan dengan air, karena itu jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia mengambil air wudhu”. (HR. Imam Ahmad). Ibnu Qoyyim Al-Jauziah mengatakan “Tidak seorangpun dapat memadamkan gejolak emosi dan nafsu birahi kecuali dengan wudhu dan salat. Adapun wudhu, karena ia adalah air dan amarah adalah api, dimana api dapat dipadamkan dengan air. Sedangkan salat, karena ia adalah munajat kepada Allah dan amarah timbul dari bisikan setan, bagaimanapun langkah setan tidak akan bisa menghalangi kehendak Allah. inilah kebenaran nyata yang tidak perlu membutuhkan bukti dan logika.” (Bada’ul fawaid, 2/494-495, Ibnu Qoyyim Al-Jauziah).

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terapi marah

Marah merupakan bentuk ekspresi emosi yang ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan sekitar manusia, dimana biasanya orang akan menjadi terpancing emosi marahnya apabila mendapatkan stimulus-stimulus yang mengancam atau mengusik ketenangan dan kenyamanan seseorang, misalnya orang akan marah jika dia di caci maki, di hina, dipukul, atau bahkan dilecehkan oleh orang lain. Secara global Asy-Syahawi (2005) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi orang sehingga orang bisa menjadi marah, yaitu kondisi fisik, kondisi psikis, dan kemungkinan lain adalah karena moralitas yang tidak baik.

Pertama, kondisi fisik yang kurang baik. orang akan cenderung marah karena menderita suatu penyakit, misalnya orang yang sakit gigi akan marah jika di dekatnya ada orang yang membunyikan type atau suara yang besar-besar. Kondisi fisik yang melemah akan menyebabkan rendahnya kontrol emosi seseorang.

Kedua, kondisi psikis. Orang yang memiliki mental yang sehat dan kodisi kejiwaan yang stabil akan membantunya mengontrol emosinya. Sebaliknya orang yang sedang mengalami tekanan, stress, dan depresi. Biasanya mereka akan mudah terpancing emosinya dan akan mudah marah. Biasanya hal-hal yang berifat sepele saja, tapi tidak disukai oleh orang yang mengalami gangguan kejiwaan ini akan memicu kemarahan dan kemurkaan yang luar biasa.

Ketiga, moralitas yang tidak baik. orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk, memiliki akhlak yang kurang baik, dan sering berbuat kejahatan akan membuat orang tersebut mudah marah. Karena mereka terbiasa dengan perbuatan-perbuatan setan dan mereka jauh dari Allah SWT. Bahkan sifat amarah sudah menjadi tabiat yang melekat pada diri mereka dan secara tidak sadar pun tabiat tersebut akan muncul tanpa dipikirkan.

Faktor-faktor di atas secara tidak langsung akan mempengaruhi proses terapi, karena ketiga faktor di atas sangat berpengaruh kepada kondisi seseorang disaat menjalankan terapi ini. Terutama dua faktor terakhir yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu kondisi fisik dan moralitas yang tidak baik. di dalam proses terapi kedua faktor ini akan dicoba dihilangkan. Sedangkan faktor yang pertama, yaitu kesehatan fisik mungkin bisa ditangani secara medis.

C. Unsur-unsur yang ada dalam terapi amarah

Dalam terapi marah yang telah dibahas di atas maka dapat kami simpulkan bahwa ada dua unsur yang ada dalam terapi ini. Dimana kedua unsur ini bisa menjelaskan dinamika rasa marah di dalam diri kita.

Pertama, unsur biologis, yaitu terjadinya perubahan-perubahan di dalam tubuh orang yang sedang marah, atau reaksi-reaksi fisiologis yang ditandai dengan perubahan hormon-hormon tertentu di dalam tubuh. Biasanya orang yang sedang marah bisa dilihat dari tanda-tanda biologisnya, misalnya mukanya menjadi memerah, pupil matanya membesar, detak jantungnya semakin cepat, orang yang sedang marah juga akan merasakan telinganya memanas. Ini disebabkan oleh perubahan kerja jantung secara drastis yang berusaha memompa darah ke wilayah tubuh bagian atas.

Di dalam Islam keterkaitan antara tubuh atau badan (body) dan Jiwa (mind) diakui sebagaimanan yang terdapat di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yaitu yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir dia berkata,”Aku telah mendengar Rasulallah SAW. bersabda “Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging, bila ia baik, maka baiklah seluruh jasad itu dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah bahwa dia adalah Qalbu.” (Muttafaqun ‘alaih). Diponegoro (2008) mengatakan bahwa mind dalam hadis ini dikaitkan dengan qalbu, sedang body dikaitkan dengan jasad. Nampak sekali bahwa qalb itu sehat dan baik, maka seluruh tubuh akan sehat dan baik, tetapi bila qalb rusak maka rusak juga seluruh tubuhnya.

Dalam kaitannya dengan terapi yang kami tawarkan pada tulisan ini, menurut hasil penelitian di Kota Panama wilayah Florida Dr. Ahmad Al-Qadhiy (United States of America) mengatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an memepengaruhi tubuh manusia dibuktikan dengan terjadinya perubahan-perubahan fisiologis di dalam tubuh kita. Terutama terjadinya perubahan syaraf-syaraf otak secara langsung sehingga mempengaruhi organ tubuh yang lainnya. Qadhiy juga mengungkapkan bahwa bacaan-bacaan Al-Qur’an akan menyegarkan kembali syaraf-syaraf otak yang tegang. Sehingga hal ini kan mempengaruhi kerja sistem tubuh yang lainnya.(httpmajlisdzikrullahpekojan.orgsains-islampengaruh-quran-terhadaporgan-tubuh).

Kedua, unsur psiklogis adalah tabiat atau akhlak yang terbentuk melalui berbagai pengalaman-pengalaman belajar yang salah. Panksepp mengatakan bahwa berdasarkan data penelitian tentang emosi, yang menunjukan bahwa keadaan-keadaan emosional-motivasional seperti rasa marah bisa muncul tanpa kita pikirkan. Kemudian Wilson menambahkan bahwa terkadang kita dengan benar merasakan atau mempelajari sesuatu tanpa usaha sadar apapun; maksudnya intuisi kita sering terbukti valid karena hal itu datang dari bagian dalam otak yang tidak berada di bawah kendali sadar. Menurut Izard, semua penelitian ini konsisten dengan teori Freud bahwa kita dapat mengalami ransangan dalam diri yang tidak kita fahami secara kognitif (Friedman dan Schustack, 2008).

Konsep Psikologi tentang Terapi Marah

Mengelola dan mengendalikan emosi marah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya kita menggunakan metode terapi dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunah Rasulallah SAW. metode tersebut adalah dengan membaca isti’adzah, berdiam diri, merubah posisi tubuh, dan dengan bersegera untuk wudhu ketika marah menyerang. Untuk menjelaskan metode ini secara kontekstual maka kita meminjam teori-teori Psikologi Barat yang relevan dengan konsep terapi ini. Selanjutnya kami akan menjelaskannya sebagai berikut.

Pertama, apa yang terjadi ketika kita membaca isti’adzah?. Isti’adzah adalah ucapan a’ȗdzubillahiminasy syaithȃnir rajȋm (Aku berlindung dengan Allah dari godaan setan yang terkutuk), yang merupakan bacaan yang diperintahkan oleh Allah SWT. ketika kita akan membaca Al-Qur’an dan ketika kita meminta perlindungan Allah SWT. dari godaan dan kejahatan setan yang terkutuk. Bacaan isti’adzah tentu bukan hanya sekedar bacaan biasa tanpa memberikan pengaruh pada diri dan jiwa seseorang. Apalagi ketika kita membaca bacaan ini dengan hati yang khusuk dan iman yang kuat akan pertolongan Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal [8] : 2).

Isti’ȃzdah merupakan salah satu bentuk bacaan dzikir sekaligus merupakan doa yang ditujukn kepada Allah SWT. Menurut Supradwi (2008) bacaan-bacaan dzikir dapat berpengaruh pada fisiologis tubuh dan mental psikologis individu. Dan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada pengaruh dzikir dalam menurunkan afek negatif pada mahasiswa. Dimana afek negatif merupakan bisa berupa rasa tegang, kecewa, gugup, ngeri, memusuhi, mudah tersinggung, malu, gelisah, dan takut, umumnya bisa diartikan sebagai perilaku penyesuaian sosial yang kurang baik dan kurang mampu untuk bekerja sama dengan individu lain. Selain itu hasil-hasil penelitian empiris antara lain penelitian yang berhubungan dengan do’a, atau kegiatan keagamaan universal yang berpengaruh terhadap aspek fisiologis individu. Misalnya penelitian mereka yang aktif berdo’a atau bersilaturrahmi, ternyata memiliki kondisi fisik yang jauh lebih baik daripada mereka yang jarang bahkan tidak pernah berdo’a (Diponegoro, 2008).

Iman, tauhid, dan ibadah kepada Allah menimbulkan sikap istiqamah dalam perilaku. Di dalamnya terdapat pencegahan dan terapi penyembuhan terhadap penyimpangan dan penyelewengan, dan penyakit jiwa. Seorang mukmin yang berpegang teguh kepada agamanya, maka Allah akan menjaga semua ucapan dan perbuatannya. Sedang, imannya memeliharanya dari penyimpangan dan penyelewengan serta penyakit jiwa (Musbikin, 2008). Meredam kemarahan bagi seorang Muslim tentu akan menimbulkan efek positif disebabkan kekuatan yang mendorong perubahan perilakunya bukan hanya faktor eksternal saja, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu iman dan tauhid, serta keyakinan akan pahala dari Allah SWT.

Kedua, dengan berdiam diri. Pada tinjauan ilmu syaraf , ditunjukkan bahwa emosi dibentuk oleh multi struktur di dalam otak .Proses cepat , minimal, dan evaluatif signifikansi emosional yang berasal dari sensor data , diproses ketika data yang ada melewati amygdala, dalam perjalanan dari organ sensor sepanjang jalur syaraf menuju limbic otak di bagian depan .Tentang bagiamana emosi dilampiaskan tergantung pada kebiasan individu , pola kepribadian, juga adat istiadat yang dianutnya . Kemarahan mengakibatkan perubahan-perubahan fisiologis dalam tubuh.

Marah dapat merubah fungsi organ tubuh. Terkait dengan ini, Mardin mengungkapkan hasil penelitian ilmiah mengenai pengaruh fisiologis akibat kecemasan telah mengungkapkan adanya berbagai perubahan dalam seluruh anggota tubuh seperti hati, pembuluh darah, perut, otak dan kelenjar-kelenjar dalam tubuh. Seluruh jalan fungsi tubuh yang alamiah berubah pada waktu marah. Hormon adrenalin dan hormonlainnya menyalakan bahan bakar pada saat marah muncul (www.scribd.com/doc/32694859/bab-14-mengelola-emosi). Sehingga apabila perubahan tersebut tidak diikuti dengan ekspresi tubuh maka reaksi fisiologis tubuh tadi akan sedikit terbendung. Tetapi, ketika reaksi fisiologis diikuti dengan ekspresi tubuh yang agresif maka hormon-hormon yang ada didalam tubuh akan terstimulasi untuk bereproduksi.

Ketiga, merubah posisi tubuh ketika sedang marah. Metode terapi ini erat kaitanya dengan sistem fisiologis manusia, di dalam psikologi dikaji dalam psikologi faal, yaitu suatu cabang ilmu psikologi yang mengkaji tentang pengaruh perubahan-perubahan fisiologis tubuh terhadap perilaku dan kejiwaan manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam biologi bahwa kemarahan menstimulasi saraf simpatik dari sistem otonom, saraf tubuh yang memang bekerja untuk merespon kondisi stress seperti trauma, takut, hipoglisemia, dan saat olahraga. Saraf simpatik beraktivitas beragam pada tubuh dan terlihat sekali pada orang marah. Dimulai dengan dilatasi pupil mata (mydriasis). Kemudian juga menstimulasi peningkatan kecepatan dan kekuatan kontraksi otot jantung. Pembuluh darah berkonstriksi (menyempit) mengakibatkan darah mengalir dengan cepat, bersinergis dengan kerja jantung yang meningkat mengakibatkan tekanan darah meningkat. Tekanan darah yang meningkat drastis di otak itulah yang dapat menyebabkan pusing. Pada saat marah proses peningkatan tekanan yang terjadi di pembuluh darah otak atau jantung yang telah elastisitasnya berkurang, misal pada kasus atherosklerosis ataupun arteriosklerosis, dapat berakibat sudden death. Kemudian menstimulasi saraf otonom yang bekerja di luar kesadaran kita sehingga akan berakibat fatal pada tubuh kita. Respon saraf simpatik lain bekerja pada medula adrenal menstimulasi sekresi adrenalin dan juga pada organ reproduksi. (sumber:http://swestika.blogspot.com/2008/11/proses-fisiologi-marah.html).

Setelah kita meninjau dari sudut pandang faali, maka jelas bahwa ketika marah hormon-hormon yang ada di dalam diri kita akan berubah drastis. Sehingga perubahan-perubahan hormon ini akan mengakibatkan kemarahan seseorang.

Pengaruh yang diakibatkan oleh berbagai kondisi terhadap curah jantung, sehingga mempengaruhi tekanan darah menurut William F. Ganong (dalam Khumaidati, 2005) sebagai berikut:

Tabel. Pengaruh aktivitas tubuh terhadap kondisi curah jantung

Perubahan

Kondisi / Faktor

Tidak ada perubahan

Tidur

Perubahan moderat suhu lingkungan

Meningkat

Kekhawatiran dan perasaan mendebarkan

Makan

Oralah raga

Suhu lingkungan tinggi

Kehamilan

Epiretrin

Menurun

Duduk / berdiri dari posisi berbaring

Penyakit jantung

Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa beberapa aktivitas dan kondisi tubuh mempengaruhi perubahan naik atau turunnya tekanan darah termasuk di dalamnya ketika posisi berdiri, duduk, dan berbaring.

Keempat, untuk segera berwudhu ketika rasa amarah merasuki tubuh kita. DR. Ir. Ibrahim Karim (ketua organisasi energi visalitas, Kairo, Mesir) membandingkan energi spiritual dengan gerakan tambahan ketika seseorang berdzikir dengan asmȃul husnȃ, wudhu, salat, membaca Al-Qur’an, dan mengumandangkan adzan. Selanjutnya Karim mengatakan bahwa ketika seseorang berwudhu, sebenarnya ia sedang membasuh daerah-daerah wudhu, yaitu bagian tubuh manusia yang tampak dan terkena energi gerakan tambahan yang timbul dari diri orang lain, ketika berwudhu, energi ini akan rontok bersamaan dengan air wudhu yang dapat menjadikan seseorang berkonsentrasi di dalam salatnya (Musbikin, 2008).

Berdasarkan penelitian Masaru Emoto (2006) bahwa air memiliki suatu bentuk energi sensitif yang sulit dilihat (disebut Hado). Begitu juga dengan semua benda yang ada di alam semesta ini. Energi ini bisa berbentuk positif atau negatif, dan mudah dipindahkan dari benda satu ke benda yang lainnya. Hal ini terbukti dengan eksperimen yang dilakukan Emoto terhadap air yang di stimulasi dengan kata-kata baik dan kata-kata buruk. Air yang diberi simulus dengan kata-kata yang baik akan membentuk kristal-kristal yang indah dan tersusun secara tertur dan indah. Sedangkan air yang diberi stimulus dengan kata-kata kotor/buruk akan menghasilkan kristal-kristal yang tidak teratur.

Jika demikian adanya, bahwa penelitian mutakhir membuktikan air bisa dipengaruhi dan begitu juga sebaliknya air bisa juga mempengaruhi karena semua benda di dunia ini memiliki energi (Hado) yang bisa ditransformasikan dari benda satu ke benda yang lainnya termasuk tubuh manusia, oleh Emoto (2006) disebutkan bahwa pikiran dan tubuh manusia dipengruhi oleh gelombang intrinsik benda lain yang digunakan untuk membentuk resonansi. Dalam hubungan antar manusia kerap kali kita mengatakan kita tidak cocok dengan seseorang, sebenarnya hal ini ada kaitannya dengan gelombang dan resonansi. Maka ketika kita berwudhu Islam mengajarkan umatnya untuk berdo’a dengan bacaan-bacaan yang baik serta mengandung pujian. Rasulallah SAW. ketika hendak berwudhu beliau membaca “Bismillah...” artinya
Dengan nama Allah (aku berwudhu)” (HR. Abu Dawud no. 101, Ibnu Majah no. 399) di dalam (Jawas, 2008).

Hasil Terapi Marah

1. Mereduksi reaksi-reaksi fisiologis dalam tubuh saat kemarahan merasuki tubuh manusia.

2. Memberikan efek positif dalam mengendalikan emosi secara terarah dan terkontrol sesuai dengan tujuan fitrah manusia.

3. Menumbuhkan keistiqamahan seseorang di dalam beribadah kepada Allah SWT.

Kesimpulan dan Saran

Terapi marah merupakan suatu proses pengobatan dan penyembuhan rasa amarah yang ada di dalam jiwa manusia dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Terapi marah yang digunakan bisa dengan Ilmu atau dengan Amalan. Terapi marah dengan amalan berupa membaca isti’adzah ketika amarah merasuki tubuh, berdiam diri, merubah posisi diri dari berdiri, menjadi duduk, kemudian berbaring, dan yang terakhir adalah segera berwudhu. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keempat terapi di atas berpengaruh pada reksi-reaksi fisiologis yang ada dalam tubuh manusia. Bukti-bukti ini menunjukan bahwa terapi amarah melalui amalan ini efektif dalam mengontrol dan mengatasi rasa amarah dalam jiwa manusia.

Bagi peneliti selanjutnya penulis sarankan untuk meneliti terapi marah melalui Ilmu, dan lebih mendalami danpak-danpak psikologis dari terapi ini, ataupun danpak-danpak lainnya sehingga konsep-konsep terapi mara di dalam Islam bisa di objektivikasikan kedalam wilayah kontekstual.

Lampiran

Daftar Pustaka

Adz-Dzaky. H.B. (2008). Konseling dan Psikoterapi Islam. Yogyakarta: Al-Manar

Asy-Syahawi, M.M. (2005). Saat-Saat Rasulallah SAW. marah. Jakarta: Pustaka Azzam.

Echols, J.H & Shadily, H. (1984). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Emoto, M. (2006). The True Power Of Water. Bandung: MQ Publishing.

Friedman, H.S & Schustack, M.W. (2008). Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern; Edisi ke 3, Jilid I. Jakarta: Erlangga.

Jawas, Y.B.A.Q. (2008). Doa dan Wirid: Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan As-Sunah. Jakarta: Pustaka Asy-Syafi’i.

Kuntowijoyo. (2007). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mujib, A. (2007). Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Musbikin, I. (2008). Melogikakan Rukun Islam: Bagi Kesehatan Fisik dan Psikologi Manusia. Yogykarta: Diva Press.

Shaleh, A.R. (2008). Psikologi: Suatu Pengantar Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Kencana.

Supradewi, R. (2008). Efektivitas Pelatihan Dzikir Untuk Menurunkan Afek Negtif Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi, Vol. 1, No, 2, 199-215.

Swandari, S. 14 Desember 2010. http://swestika.blogspot.com/2008/11/proses-fisiologi-marah.html.

________ 15 Desember 2010. httpmajlisdzikrullahpekojan.orgsains-islampengaruh-quran-terhadaporgan-tubuh.

Sumpeno, W. 1 Januari 2011. www.scribd.com/doc/32694859/bab-14-mengelola-emosi.

Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.