Keagungan Cinta

Sayidina Ali bin Abi Thalib Berkata "Saling Mencintai Adalah Sebagian Dari Kebijaksanaan" (dalam Buku : Balada Cinta Suci Fatimah & Ali)
Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Rabu, 28 Juli 2010

“Manajemen Stress Islami Dengan Beriman Kepada Takdir Allah Swt”

Oleh : Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga

Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah. {QS. Al-Ahzab [33] : 17}.

Tingkat kompleksitas kehidupan manusia makin hari semakin rumit mulai dari masalah ekonimi, pendidikan, social, dan sebagainya. Hiruk pikuk kehidupan mengusik ketenangan manusia, mulai dari tuntutan ekonomi, pendidikan, dan kehidupan social yang kacau balau. Manusia seakan diperbudak oleh kehidupan dunia. Bagaimanan tidak, seharusnya waktu malam yang dijadikan untuk beristirahat dari fananya kehidupan di siang hari, malah dijadikan sebagai waktu lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai siangnya. Seharusnya waktu malam dijadikan untuk bersenda gurau dengan keluarga, malah tersibukkan dengan kebutuhan pekerjaan yang tidak habis-habisnya. Allah Swt berfirman dalam kalamnya yang mulia :

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” {QS. Al-Furqan [25] : 47}.

Semakin sibuk manusia dengan dunia maka semakin jauh pula mereka dari kebahagian dan ketenangan. Besarnya usaha manusia untuk mencapai kemegahan kehidupan dunia tidak menjadi jaminan mereka bisa hidup dengan kebahagian, karena secara material kita bisa menjamin bahwa mereka itu bahagia. Tapi ukuran kebahagian itu bukanlah material atau jasmaniah (fisik), melainkan bersifat rohaniah (psikis).

Sudut pandang duniawiah, yaitu menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan hidup dan sebagai standar kebahagian, lebih jelasnya Islam menyebutnya dengan “hubbudduniyah” atau cinta dunia. Akan membuat manusia dipermainkan oleh kehidupan dunia yang fana ini. Tidak jarang kita melihat orang khawatir, cemas, merasa tertekan, terancam, dan takut dikarenakan perusahaannya bangkrut, karirnya anjlok, di PHK, gajinya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, diputus pacar yang ia cintai, dicerai suami atau isteri dan lain sebagainya.

Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia dan hidup untuk akhiratnya. Islam tidak menuntut manusia untuk beribadah secara terus menerus, tapi Islam mengajarkan bagaimana usaha manusia untuk kehidupan dunianya bisa menjadi amal shaleh di sisi Allah Swt.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. {QS. Al-Qashash [28] : 77}.

Allah Swt. telah menentukan nasib setiap makhluknya yang telah dituliskan di “lauhulmahfuzh” sebelum makhluk itu diciptakan. Sehingga apapun yang terjadi pada segala sesutau yang berhubungan dengan alam semesta maka sunnguh telah Allah tetapkan bahwa itu akan terjadi, sungguh Allah Maha Berkehendak sesukanya.

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” {QS. Al-An’ām [6] : 59}.

Mengimani apa-apa yang telah ditetapkan Allah adalah wajib bagi orang Islam karena itu merupakan salah satu dari rukun Iman, yang disebut sengan Iman kepada takdir baik maupun takdir buruk.

“Iman adalah bahwasanya engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir (kiamat), dan engkau percaya kepada qadar yang baik maupuin buruk.” {HR. Muslim, hadis ke 2 dari kitab Arba’in An-Nawawiyah}.

Dibalik kewajiban ini tentu Allah Swt menyediakan hikmah yang banyak bagi manusia, karena mustahil bagi Allah menciptakan sesuatu tanpa ada himahnya.

Seorang Muslim diajarkan untuk berserah diri kepada Allah (bertawakkal), dimana segala daya dan upaya (ihktiar) yang dilakukan merupakan sarana untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun, setelah berikhtiar manusia diharuskan untuk bertawakkal karena yang berhak menentukan hasil ikhtiar tersebut hanyalah Allah Swt. Apabila hasil yang didapatkan baik maka mereka tidak kufur, tapi jika hasil yang didapatkan kurang baik maka mereka tetap besyukur. Inilah hakikat dari beriman kepada takdir Allah. Dibalik hasil yang kita peroleh kita bisa mengambil hikmah (Ibrah), misalnya jika hasil yang kita dapatkan kurang baik maka pelajaran yang kita peroleh adalah mungkin usaha kita kurang maksimal sehingga selanjutnya kita bisa memaksimalkan usaha kita. Di lain kasus, kita telah berusaha semaksimal mungkin tapi hasilnya tetap kurang baik juga, maka pelajaran yang kita ambil adalah Allah menguji kita, artinya Allah sayang kepada kita sehingga Allah akan menaikkan derajat kita dengan ujian itu.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?.” {QS. Al-Ankabût [29] : 2}.

Dengan adanya ujian dari Allah tersebut maka akan diketahui siapakah orang-orang yang beriman, siapakah orang orang yang munafik, dan siapakah orang-orang yang paling baik amalannya?

Dari Umar bin Khatab ra. Nabi Saw bersabda : “Sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan membeikan kepadamu rizki sebagaimana burung yang juga diberi rizki; ketika fajar menyingsing ia pergi dalam keadaan lapar dan menjelang senja mereka pulang dalam keadaan kenyang.” {HR. Tirmidzi}.

Tawakkal bagi seorang Mukmin bukan bermakna pasif. Pasrah, narimo ing gandum, sama sekali bukan, tetapi merupakan sebuah aktititas untuk menggapai rizki Allah yang halal dan thayyiban secara sungguh-sungguh dibarengi do’a dan menyerahkan segala hasil usaha hanya kepada Allah. Sehingga manakala dia sukses tidak seta-mata menganggap itu semua hasil jerih payah, kecerdasan, dan kepiawaiannya kemudian ‘ujub dan sombong. Juga tatkala dia gagal total lantas tidak minder, putus asa, stress, sakit hati, atau kafir, sama sekali bukan.

Orang yang senantiasa beriman kepada takdir Allah, seraya berusaha, berdo’a, dan bertawakkal akan menjadikan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu berupa kebaikan, rizki yang berlimpah, jabatan yang tinggi, isteri yang cantik, maupun berupa keburukan dan kegagalan. Mereka akan menyikapinya dengan habatush shadr (kelapangan dada) yang sempurna.

Sesungguhnya Rasul dan para sahabat beliau adalah tauladan yang patut kita ikuti dalam hal mengimani takdir Allah Swt. kita bisa menyimak kisah-kisah perjuangan Rasul dan para sahabatnya dalam mengarungi kehidupan dunia fana ini. Walaupun mereka hidup dengan pas-pasan, kehilangan harta benda, sanak keluarga, bahkan nyawa jadi taruhannya ketika mereka diperintahkan Allah untuk berhijrah. Mereka tetap bisa menjaga jiwa (ruhaniah) mereka dari stress. Dimana secara logika dengan melihat manusia jaman sekarang mustahil mereka bisa bertahan dari kekejaman, ancaman, siksaan baik secara lahir maupun batin yang gencar dari orang-orang kafir. Maka tentu ada suatu rahasia dibalik kekuatan jiwa tersebut, yaitu iman kepada Allah Swt dan takdir-Nya.

Jumat, 23 Juli 2010

“Anakku, Sembahlah Allah!...Walaupun Ayahmu Sudah Tidak Ada”

“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: Kami akan menyembah Ilah-mu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) ilah yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya”. (QS.Al-Baqarah [2]:133)

Pembaca yang budiman. Anak adalah amanah yang dititipkan Allah Swt kepada setiap orang tua. Oleh karena itu setiap orang tua wajib menjaga amanah yang dititipkan Allah Swt kepada mereka. Kalau orang tua pandai dalam menjaga amanah tersebut maka anaknya akan membawa mereka ke surgaNya Allah Swt. Tapi sebaliknya, kalau mereka lalai dalam menjaga amanah dan menyia-nyiakannya maka dia akan menjerumuskan orang tuanya kedalam kemurkaan Allah dan nerekaNya. Kepada para orang tua Allah swt telah memberikan peringatan Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Al-Anfal [8] : 28). Kemudian Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka “ Hai, orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…”. (QS At-Tahrim [66] : 6).

Anak merupakan amanah dan fitnah yang sangat besar yang diberikan Allah Swt kepada orang tua sehingga Allah swt memperingatkan orang tua di dalam Al-Qur’an yang mulia. Supaya amanah tersebut tidak menjadi fitnah yang buruk maka kita wajib mentarbiyah anak-anak kita dengan aqidah tauhid sejak dini sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi Saw. Mengajarkan aqidah tauhid kepada anak sejak dini merupakan suatu langkah yang baik untuk membentengi intelektual anak kedepannya. Pondasi aqidah tauhid yang kokoh akan menciptakan intelektual-intelektual Muslim yang berakhlak mulia. Karena esensinya aqidah tauhid mengajarkan kepada manusia untuk menjadi makhluk yang berakhlak al-karimah atau al-mahmudah. Sehingga apabila aqidah tauhidnya telah tertanamkan dengan baik dan tumbuh didalam diri anak, maka mau menjadi apapun seorang anak akan menjadi orang yang baik, mau menjadi presiden akan menjadi presiden yang beriman, mau menjadi jenderal dia akan menjadi jenderal yang beriman, mau menjadi politikus dia akan menjadi politikus yang beriman. Sehingga orientasi hidup mereka bukanlah untuk mencapai kenikmatan dunia semata (hedonisme), tapi mengutamakan kepentingan akhirat dari pada kepentingan dunia karena mereka sadar bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagi mereka dari pada kehidupan dunia “walal ākhiratu khairul laka minal ûlā”. (QS. Adh-Dhuha [93] : 4).

Memang sebuah tantangan yang sangat berat bagi orang tua untuk mendidik anak menjadi anak yang saleh. Apalagi zaman sekarang, berbagai godaan datang dari luar dengan menawarkan berbagai macam pendidikan yang kata mereka bisa menjamin masa depan anak didik mereka. Metode-metode pendidikan dimodifikasi sedemikian rupa, sistem-sistem infiormasi dan komunikasi dimasukkan ke dalam dunia pendidikan sebagai standar kebagusan suatu lembaga pendidikan. Memang, cara tersebut tidak salah, bahkan juga memberikan kontribusi yang positif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, ada satu hal yang terlupakan, metode pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan pada umumnya jauh dari nilai-nilai Islam. Pendidik sekarang secara umum hanya menjiplak teori-teori Barat secara tidak adaptif. Secara logika saja kita bisa menyadari bahwa belum tentu teori-teori Barat cocok dengan kebudayaan timur kita, terutama ideology keIslaman. Sesuatu yang dianggap normal di Barat belum tentu normal di dalam Islam, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap abnormal di Barat belum tentu abnormal di dalam Islam. Sehingga kita perlu kembali menggali nilai-nilai psikis dalam Islam, sebagai mana yang telah diajarkan Nabi saw.

Suatu realita yang sangat ironi sekali. Jika, pagi-pagi sekali orang tua telah menanyakan kepada anak-anak mereka “mā ta’qulûna min ba’di?” atau “apa yang akan kamu makan sepeninggalku nanti, nak?”. Ini merupakan salah satu dampak dari ketidak pahaman orang tua akan hakikat hidup. Sehingga sejak dini mereka telah menanamkan hedonisme (hubuddunya) pada anak-anak mereka. Selanjutnya orang tua akan memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang bonafit, mereka rela mebayar berapapun asal anak-anak mereka terjamin masa depannya. Padahal, Islam telah mengajarkan bahwa pendidikan ilmu agama lebih utama dari pendidikan ilmu dunia “Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu beberapa derajat”.(QS. Al-Mujadalah [85] : 11). Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud “orang-orang yang diberi ilmu” disini adalah orang-orang yang diberi ilmu tentang agama. Kemudian didalam hadits dari Bukhari Nabi saw juga bersabda “Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan atasnya, maka Allah pahamkan ia agama”.

Nabi Ya’kub as. telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik “Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”. Kemudian Nabi saw juga mengajarkan kita pentingnya mendidik anak- dengan tauhid sejak dini, sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (dalam sahih Muslim) bahwa Rasul telah mengajarkan Ibnu Abbas tentang tauhid diwaktu Ibnu Abbas masih anak-anak sehingga Ibnu Abbas menjadi ulama besar dizamannya. Hal yang paling fundamental yang harus ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya adalah tauhid, bukan bagaimana cara mencari uang yang banyak atau bagaimana mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kalau tauhid anak-anak kita sudah benar, setelah itu baru kita ajarkan bagaimana cara mencari uang dan jabatan. Karena, uang yang akan didapatkan dengan cara yang halal, dan dibelanjakan kepada perkara yang halal juga. Begitu juga jabatan, mereka akan menjadi pemimpin yang adil, dan yang dipimpinnya pun akan rido dengan kepemimpinan mereka.

Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang saleh dan menjadi pensiunan pahala bagi mereka setelah meninggal nanti, bukan menjadi anak-anak yang salah, malah memberatkan mereka menuju surga Allah swt. Oleh karena itu, wahai, orang tua yang budiman! Mulai sekarang mari kita tarbiyah anak-anak kita dengan tauhid. Tidak salah jika kita menanyakan kepada anak-anak kita “Wahai, anakku! Apa yang kamu sembah setelah aku meninggal nanti?” sehingga mereka paham tujuan mereka hidup di dunia adalah untuk mengabdi kepada Allah swt, dan generasi Muslim kedepannya akan tumbuh menjadi generasi-generasi yang cerdas spiritual dan intelektual.