Keagungan Cinta

Sayidina Ali bin Abi Thalib Berkata "Saling Mencintai Adalah Sebagian Dari Kebijaksanaan" (dalam Buku : Balada Cinta Suci Fatimah & Ali)
Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Rabu, 28 Juli 2010

“Manajemen Stress Islami Dengan Beriman Kepada Takdir Allah Swt”

Oleh : Syahri Ramadhan Tadun El-Minangkabawy

Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga

Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah. {QS. Al-Ahzab [33] : 17}.

Tingkat kompleksitas kehidupan manusia makin hari semakin rumit mulai dari masalah ekonimi, pendidikan, social, dan sebagainya. Hiruk pikuk kehidupan mengusik ketenangan manusia, mulai dari tuntutan ekonomi, pendidikan, dan kehidupan social yang kacau balau. Manusia seakan diperbudak oleh kehidupan dunia. Bagaimanan tidak, seharusnya waktu malam yang dijadikan untuk beristirahat dari fananya kehidupan di siang hari, malah dijadikan sebagai waktu lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai siangnya. Seharusnya waktu malam dijadikan untuk bersenda gurau dengan keluarga, malah tersibukkan dengan kebutuhan pekerjaan yang tidak habis-habisnya. Allah Swt berfirman dalam kalamnya yang mulia :

Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” {QS. Al-Furqan [25] : 47}.

Semakin sibuk manusia dengan dunia maka semakin jauh pula mereka dari kebahagian dan ketenangan. Besarnya usaha manusia untuk mencapai kemegahan kehidupan dunia tidak menjadi jaminan mereka bisa hidup dengan kebahagian, karena secara material kita bisa menjamin bahwa mereka itu bahagia. Tapi ukuran kebahagian itu bukanlah material atau jasmaniah (fisik), melainkan bersifat rohaniah (psikis).

Sudut pandang duniawiah, yaitu menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan hidup dan sebagai standar kebahagian, lebih jelasnya Islam menyebutnya dengan “hubbudduniyah” atau cinta dunia. Akan membuat manusia dipermainkan oleh kehidupan dunia yang fana ini. Tidak jarang kita melihat orang khawatir, cemas, merasa tertekan, terancam, dan takut dikarenakan perusahaannya bangkrut, karirnya anjlok, di PHK, gajinya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, diputus pacar yang ia cintai, dicerai suami atau isteri dan lain sebagainya.

Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia dan hidup untuk akhiratnya. Islam tidak menuntut manusia untuk beribadah secara terus menerus, tapi Islam mengajarkan bagaimana usaha manusia untuk kehidupan dunianya bisa menjadi amal shaleh di sisi Allah Swt.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. {QS. Al-Qashash [28] : 77}.

Allah Swt. telah menentukan nasib setiap makhluknya yang telah dituliskan di “lauhulmahfuzh” sebelum makhluk itu diciptakan. Sehingga apapun yang terjadi pada segala sesutau yang berhubungan dengan alam semesta maka sunnguh telah Allah tetapkan bahwa itu akan terjadi, sungguh Allah Maha Berkehendak sesukanya.

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” {QS. Al-An’ām [6] : 59}.

Mengimani apa-apa yang telah ditetapkan Allah adalah wajib bagi orang Islam karena itu merupakan salah satu dari rukun Iman, yang disebut sengan Iman kepada takdir baik maupun takdir buruk.

“Iman adalah bahwasanya engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir (kiamat), dan engkau percaya kepada qadar yang baik maupuin buruk.” {HR. Muslim, hadis ke 2 dari kitab Arba’in An-Nawawiyah}.

Dibalik kewajiban ini tentu Allah Swt menyediakan hikmah yang banyak bagi manusia, karena mustahil bagi Allah menciptakan sesuatu tanpa ada himahnya.

Seorang Muslim diajarkan untuk berserah diri kepada Allah (bertawakkal), dimana segala daya dan upaya (ihktiar) yang dilakukan merupakan sarana untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun, setelah berikhtiar manusia diharuskan untuk bertawakkal karena yang berhak menentukan hasil ikhtiar tersebut hanyalah Allah Swt. Apabila hasil yang didapatkan baik maka mereka tidak kufur, tapi jika hasil yang didapatkan kurang baik maka mereka tetap besyukur. Inilah hakikat dari beriman kepada takdir Allah. Dibalik hasil yang kita peroleh kita bisa mengambil hikmah (Ibrah), misalnya jika hasil yang kita dapatkan kurang baik maka pelajaran yang kita peroleh adalah mungkin usaha kita kurang maksimal sehingga selanjutnya kita bisa memaksimalkan usaha kita. Di lain kasus, kita telah berusaha semaksimal mungkin tapi hasilnya tetap kurang baik juga, maka pelajaran yang kita ambil adalah Allah menguji kita, artinya Allah sayang kepada kita sehingga Allah akan menaikkan derajat kita dengan ujian itu.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?.” {QS. Al-Ankabût [29] : 2}.

Dengan adanya ujian dari Allah tersebut maka akan diketahui siapakah orang-orang yang beriman, siapakah orang orang yang munafik, dan siapakah orang-orang yang paling baik amalannya?

Dari Umar bin Khatab ra. Nabi Saw bersabda : “Sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan membeikan kepadamu rizki sebagaimana burung yang juga diberi rizki; ketika fajar menyingsing ia pergi dalam keadaan lapar dan menjelang senja mereka pulang dalam keadaan kenyang.” {HR. Tirmidzi}.

Tawakkal bagi seorang Mukmin bukan bermakna pasif. Pasrah, narimo ing gandum, sama sekali bukan, tetapi merupakan sebuah aktititas untuk menggapai rizki Allah yang halal dan thayyiban secara sungguh-sungguh dibarengi do’a dan menyerahkan segala hasil usaha hanya kepada Allah. Sehingga manakala dia sukses tidak seta-mata menganggap itu semua hasil jerih payah, kecerdasan, dan kepiawaiannya kemudian ‘ujub dan sombong. Juga tatkala dia gagal total lantas tidak minder, putus asa, stress, sakit hati, atau kafir, sama sekali bukan.

Orang yang senantiasa beriman kepada takdir Allah, seraya berusaha, berdo’a, dan bertawakkal akan menjadikan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu berupa kebaikan, rizki yang berlimpah, jabatan yang tinggi, isteri yang cantik, maupun berupa keburukan dan kegagalan. Mereka akan menyikapinya dengan habatush shadr (kelapangan dada) yang sempurna.

Sesungguhnya Rasul dan para sahabat beliau adalah tauladan yang patut kita ikuti dalam hal mengimani takdir Allah Swt. kita bisa menyimak kisah-kisah perjuangan Rasul dan para sahabatnya dalam mengarungi kehidupan dunia fana ini. Walaupun mereka hidup dengan pas-pasan, kehilangan harta benda, sanak keluarga, bahkan nyawa jadi taruhannya ketika mereka diperintahkan Allah untuk berhijrah. Mereka tetap bisa menjaga jiwa (ruhaniah) mereka dari stress. Dimana secara logika dengan melihat manusia jaman sekarang mustahil mereka bisa bertahan dari kekejaman, ancaman, siksaan baik secara lahir maupun batin yang gencar dari orang-orang kafir. Maka tentu ada suatu rahasia dibalik kekuatan jiwa tersebut, yaitu iman kepada Allah Swt dan takdir-Nya.

Jumat, 23 Juli 2010

“Anakku, Sembahlah Allah!...Walaupun Ayahmu Sudah Tidak Ada”

“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: Kami akan menyembah Ilah-mu dan Ilah nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) ilah yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya”. (QS.Al-Baqarah [2]:133)

Pembaca yang budiman. Anak adalah amanah yang dititipkan Allah Swt kepada setiap orang tua. Oleh karena itu setiap orang tua wajib menjaga amanah yang dititipkan Allah Swt kepada mereka. Kalau orang tua pandai dalam menjaga amanah tersebut maka anaknya akan membawa mereka ke surgaNya Allah Swt. Tapi sebaliknya, kalau mereka lalai dalam menjaga amanah dan menyia-nyiakannya maka dia akan menjerumuskan orang tuanya kedalam kemurkaan Allah dan nerekaNya. Kepada para orang tua Allah swt telah memberikan peringatan Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Al-Anfal [8] : 28). Kemudian Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka “ Hai, orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…”. (QS At-Tahrim [66] : 6).

Anak merupakan amanah dan fitnah yang sangat besar yang diberikan Allah Swt kepada orang tua sehingga Allah swt memperingatkan orang tua di dalam Al-Qur’an yang mulia. Supaya amanah tersebut tidak menjadi fitnah yang buruk maka kita wajib mentarbiyah anak-anak kita dengan aqidah tauhid sejak dini sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi Saw. Mengajarkan aqidah tauhid kepada anak sejak dini merupakan suatu langkah yang baik untuk membentengi intelektual anak kedepannya. Pondasi aqidah tauhid yang kokoh akan menciptakan intelektual-intelektual Muslim yang berakhlak mulia. Karena esensinya aqidah tauhid mengajarkan kepada manusia untuk menjadi makhluk yang berakhlak al-karimah atau al-mahmudah. Sehingga apabila aqidah tauhidnya telah tertanamkan dengan baik dan tumbuh didalam diri anak, maka mau menjadi apapun seorang anak akan menjadi orang yang baik, mau menjadi presiden akan menjadi presiden yang beriman, mau menjadi jenderal dia akan menjadi jenderal yang beriman, mau menjadi politikus dia akan menjadi politikus yang beriman. Sehingga orientasi hidup mereka bukanlah untuk mencapai kenikmatan dunia semata (hedonisme), tapi mengutamakan kepentingan akhirat dari pada kepentingan dunia karena mereka sadar bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagi mereka dari pada kehidupan dunia “walal ākhiratu khairul laka minal ûlā”. (QS. Adh-Dhuha [93] : 4).

Memang sebuah tantangan yang sangat berat bagi orang tua untuk mendidik anak menjadi anak yang saleh. Apalagi zaman sekarang, berbagai godaan datang dari luar dengan menawarkan berbagai macam pendidikan yang kata mereka bisa menjamin masa depan anak didik mereka. Metode-metode pendidikan dimodifikasi sedemikian rupa, sistem-sistem infiormasi dan komunikasi dimasukkan ke dalam dunia pendidikan sebagai standar kebagusan suatu lembaga pendidikan. Memang, cara tersebut tidak salah, bahkan juga memberikan kontribusi yang positif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, ada satu hal yang terlupakan, metode pendidikan yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan pada umumnya jauh dari nilai-nilai Islam. Pendidik sekarang secara umum hanya menjiplak teori-teori Barat secara tidak adaptif. Secara logika saja kita bisa menyadari bahwa belum tentu teori-teori Barat cocok dengan kebudayaan timur kita, terutama ideology keIslaman. Sesuatu yang dianggap normal di Barat belum tentu normal di dalam Islam, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap abnormal di Barat belum tentu abnormal di dalam Islam. Sehingga kita perlu kembali menggali nilai-nilai psikis dalam Islam, sebagai mana yang telah diajarkan Nabi saw.

Suatu realita yang sangat ironi sekali. Jika, pagi-pagi sekali orang tua telah menanyakan kepada anak-anak mereka “mā ta’qulûna min ba’di?” atau “apa yang akan kamu makan sepeninggalku nanti, nak?”. Ini merupakan salah satu dampak dari ketidak pahaman orang tua akan hakikat hidup. Sehingga sejak dini mereka telah menanamkan hedonisme (hubuddunya) pada anak-anak mereka. Selanjutnya orang tua akan memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang bonafit, mereka rela mebayar berapapun asal anak-anak mereka terjamin masa depannya. Padahal, Islam telah mengajarkan bahwa pendidikan ilmu agama lebih utama dari pendidikan ilmu dunia “Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu beberapa derajat”.(QS. Al-Mujadalah [85] : 11). Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud “orang-orang yang diberi ilmu” disini adalah orang-orang yang diberi ilmu tentang agama. Kemudian didalam hadits dari Bukhari Nabi saw juga bersabda “Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan atasnya, maka Allah pahamkan ia agama”.

Nabi Ya’kub as. telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik “Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”. Kemudian Nabi saw juga mengajarkan kita pentingnya mendidik anak- dengan tauhid sejak dini, sebagai mana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas (dalam sahih Muslim) bahwa Rasul telah mengajarkan Ibnu Abbas tentang tauhid diwaktu Ibnu Abbas masih anak-anak sehingga Ibnu Abbas menjadi ulama besar dizamannya. Hal yang paling fundamental yang harus ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya adalah tauhid, bukan bagaimana cara mencari uang yang banyak atau bagaimana mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kalau tauhid anak-anak kita sudah benar, setelah itu baru kita ajarkan bagaimana cara mencari uang dan jabatan. Karena, uang yang akan didapatkan dengan cara yang halal, dan dibelanjakan kepada perkara yang halal juga. Begitu juga jabatan, mereka akan menjadi pemimpin yang adil, dan yang dipimpinnya pun akan rido dengan kepemimpinan mereka.

Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang saleh dan menjadi pensiunan pahala bagi mereka setelah meninggal nanti, bukan menjadi anak-anak yang salah, malah memberatkan mereka menuju surga Allah swt. Oleh karena itu, wahai, orang tua yang budiman! Mulai sekarang mari kita tarbiyah anak-anak kita dengan tauhid. Tidak salah jika kita menanyakan kepada anak-anak kita “Wahai, anakku! Apa yang kamu sembah setelah aku meninggal nanti?” sehingga mereka paham tujuan mereka hidup di dunia adalah untuk mengabdi kepada Allah swt, dan generasi Muslim kedepannya akan tumbuh menjadi generasi-generasi yang cerdas spiritual dan intelektual.

Minggu, 17 Januari 2010

Esensi Tauhid Dalam Ibadah Qurban

Tauhid adalah Pelajaran Besar Dari Ibadah Qurban

Oleh: Syahri Ramadhan, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

“ Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (QS. Al-Kautsar: 1-3)

Salat idul adlha baru saja kita dirikan. Insya Allah tahun depan kita masih berjumpa dengannya. Syari’at memerintahkan bagi orang yang mampu (memiliki kelebihan harta) untuk melaksanakan qurban di hari-hari yang Allah telah tentukan yaitu pada sehari raya adlha dan hari-hari tasyrik yaitu pada tanggal 11, 12, 13 dzulhijah. Syari’at ini banyak dilaksanakan oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia, seluruh bangsa, baik di barat maupun di timur, utara maupun di selatan , di desa mapun di kota. Namun, tidaklah semua shahibul qurban atau umat Muslim memahami I’tibar dibalik syari’at ibadah qurban ini. Sehingga, qurban hanya tinggal qurban, tanpa menyisakan benih-benih tauhid yang harus dipupuk agar semua ibadah yang telah dilakukan ikhlas karena Allah.

Pelajaran yang berharga dari ibadah qurban itu adalah tauhid, tauhid dalam beribadah ibarat wudhuk dalam melaksanakan shalat. Tidak sah salat jika kita tidak berwudhuk, begitu juga ibadah tidak akan diterima oleh Allah Swt jika tidak dengan tauhid, artinya ibadah yang disertai oleh unsur-unsur syirik, meniatkan ibadah selain kepada Allah, beribadah bukan karena mengharap ridha Allah, maka ibadahnya ditolak.

Didalam Qur’an surat al-Kautsar Allah Swt dengan sangat jelas mengatakan “Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”. Jadi hakikatnya ibadah yang kita lakukan hanya diperuntukkan kepada Allah Swt, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al An’am : 162-163) . Begitui juga dengan qurban. Ibadah qurban merupakan millah Nabi Ibrahim yang kemudian juga disyari’atkan kepada umat Muhammad Saw. Kalau kita meninjau kembali bagaimana keteguhan hati Ibrahim as. dalam menegakkan kalimat tauhid mempersembahkan seluruh kehidupan dan ibadahnya hanya untuk Allah Swt. Kita akan memahami betapa hanif dan patuhnya Ibrahim as. kepada Allah Swt.

Pertama kali ibadah qurban disyari’atkan kepada Ibrahim as menitipkan pesan tauhid yang sangat berharga, karena Allah bukan memerintahkan Ibrahim as untuk berqurban seperti yang kita lakukan sekarang. Allah perintahkan kepada Ibrahim as yang hanif untuk berqurban dengan menyemblih anaknya Isma’il as yang pada waktu itu usianya masih kanak-kanak dan Isma’il as adalah satu-satunya putra yang sangat ia sayangi dan merupkan anak yang ia dapatkan setelah sekian tahun lamanya dia nanti-nantikan. Godan dari iblis pun dating silih berganti untuk mengurungkan niat Ibrahim untuk menyemblih Isma’il. Namun, karena kecintaan Ibrahim kepada Allah Swt melebihi kecintaannya kepada apa pun di dunia ini dan keyakinannya yang mantap bahwa itu adalah perintah Allah swt walaupun hanya disampaikan melalui mimpi tidak menggoyahkan niatnya untuk mengurbankan Isma’il. Allahu Akbar, pada saat penyemblihan Isma’il diganti oleh Allah Swt dengan seekor kibas.

Umat Muslim saat ini memang tidak dituntut untuk mambuktikan ketauhidannya seperti pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim as. Mugkin, umat Muslim saat ini menghadapi versi yang berbeda dengan Ibrahim dalam proses mentauhidkan Allah Swt. Namun intinya sama, godaan yang datang saat ini siap menggoyahkan iman umat Islam yang lemah imannya. Realitanya, masih banyak umat Islam yang masih percaya tahayul, perdukunan, ramalan, penyembahan terhadap benda-benda yang mereka anggap kramat dan tidak sedikit kita lihat di layar televisi yang memfasilitasi praktek kesyirikan dengan memunculkan peramal-peramal sesuai dengan bidang mereka, mulai dari pekerjaan, jodoh, nasib, dll. Tidak sedikit orang yang percaya dengan ramalan mereka yang notabenenya adalah umat Islam. Ini terbukti dengan menjamurnya para dukun di televise karena pihak-pihak tertentu meraih keuntungan yang tidak sedikit dari program mereka itu.

Melaui ibadah qurban inilah kita sebagai orang yang berakal kembali memurnikan tauhid kepada Allah Swt. Karena modal dasar kita ke sorga adalah tauhid, syarat diterima ibadah kita di sisi Allah adalah tauhid. Jika boleh kita logikakan ‘bagaimana kita mau hidup jika ruh yang memberi kehidupan dalam jiwa dan raga kita telah pergi meninggalkan kita’.

Tauhid telah lama ditanamkan kedalam diri seseorang, bahkan sebelum manusia lahir Allah telah menanamkan tauhid “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. al-A’raf: 172). Namun, jika tidak dipupuk dengan amalan yang benar maka dia akan sirna seperti hilangnya ruh dari dalam diri manusia. sehingga diri dan jiwa manusia akan mati, dan membusuk.

Mengenali Kepribadian Munafik

MUNAFIK

I. Definisi Operasional

Nifak atau munafik adalah merupakan lawan dari kata “terus terang” atau “terang-terangan”. Dengan kata lain, nifak berarti “menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati”. Nifak mempunyai dua bagian : (1) bertalian dengan masalah aqidah, dan masalah ini yang paling membahayakan, (2) bertalian dengan perkataan atau perbuatan, dan untuk masalah yang kedua ini lebih ringan dosanya dari pada yang pertama. (Abu Ahmadi, 1991). Ansory Al-Mansor (1998) mangatakan bahwa munafik berasal dari bahasa arab yang artinya menyembunyikan dalam hati : hatinya berlawanan dengan yang lainnya, lain di mulut, lain di hati, lain dikata lain diperbuat, ketidak cocokan antara perkataan dan perbuatan.

Munafik dalam arti syara’ adalah menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya dan menampakkan iman dengan lidahnya. Orang seperti ini mengaku beriman akan tetapi tidak mau melakukan kewajiban-kewajiban orang beriman lainnya.

Firman Allah Swt, QS. Al-Baqarah ayat 14 :

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami Telah beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka[25], mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."

Hadis Nabi Saw dari Abu Hurairah yang terdapat di dalam kitab al-hadis Bukhari dan Muslim :

Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga : bila berkata selalu bohong, bila berjanji selalu tidak di tepati, dan bila dipercaya selalu berkhianat”.

Hadis Mutafaq ‘alaih :

“Dan bagi keduanya dari hadis Abdillah Ibnu ‘Umar : Dan apabila berbantahan ia keluar dari batasnya”.

Dalam Kitab Bulughul Maram kedua hadis di atas ditafsirkan (1) ashal ma’na nifaq ialah menampakkan sesuatu yang baik, sedangkan bathinnya tidak begitu, (2) maka orang yang manampakkan ke-Islamannya, tetapi bathinnya tidak, itu dinamakan munafik. Nifaq yang begini, hukumnya tidak lain melainkan kufur, (3) dipakai juga kalimat munafik dengan arti orang yang nampakknya baik dan benar, tetapi senarnya ia sebalik itu, misalnya ;

a) Seorang berkata-kata dan pendengarnya menyangka dia benar padahal dia tidak benar.

b) Seorang berjanji kepada orang yang menyangka dia akan sempurnakan tetapi tidak dia sempurnakan.

c) Seorang diberi amanat dengan persangkaan orang yang member amanat itu, bahwa ia akan tunaikan tetapi kejadiannya ia berkhianat.

Abdul Mujib mengatakan dalam Bukunya “Kepribadian Dalam Psikologi Islam” (2006) bahwa nifaq merupakan karakter orang munafik yang merupakan psikopatologi. Ia menipakan akumulasi dari berbagai konflik batin dan penyakit mental. Penderitanya tidak mampu menghadapi kenyataan yang sebenarnya, sehingga ia berdusta jika berbicara, mengingkari jika terlanjur berjanji, dan menipu bila dipercaya.

Kemudian menurut Abdul Mujib, indikator-indikator gangguan kepribadian Islam dapat dibagi kedalam beberapa aspek, antara lain :

Ø Suka menipu (QS. An-Nisa’ : 142)

Ø Menyembunyikan kejelekan di dalam hatinya dan takut diketahui orang lain (QS. At-Taubah : 64)

Ø Perbuatannya dalam kefasikan atau dosa (QS. At-Taubah : 67)

Ø Sikapnya suka berdusta (QS. Al-Munafiqun : 1)

Ø Orang munafik dikelompokkan kepada golongan orang-orang yang memiliki penyakit di dalam hatinya, sebab manganggap janji-janji Allah dan Rasul-Nya hanya sebagai tipu daya belaka. Firman Allah Swt “Dan ingatlah! Ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang bepenyakit di dalam hatinya berkata : “Allah dan Rasulnya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya. (QS. Al-Ahzab : 12). Table dibawah ini merupakan ilusi kepribadian mufik.

Table

Kepribadian Munafik

Motif

Symptom kejiwaan

Gangguan penyesuaian dan pengembangan diri

Ingin mendapatkan keuntungan sesaat

Menipu orang lain dengan cara:

Ø Berdusta atau berbohong

Ø Ingkar janji

Ø Berkhianat terhadap amanah

Ø Perilaku maladaptive misalnya narsistik dan antisosial

Kesulitan melakukan penyesuaian dan pengembangan diri karena jiwanya yang plin-plan dan tidak pegang komitmen.

II. Aspek-Aspek Yang Dukur

Berdasarkan devinisi operasional yang telah dikemukakan di atas, maka aspek-aspek yang diukur untuk mengetahui kepribadian orang munafik bisa dibuat skala dan kemudian di angkakan (statistik). Dari indikator-indikator kepribadian munafik bisa dikembangkan lagi menjadi indikator yang lebih spesifik dan mudah untuk diukur dengan melihat intensitas kemunculan perilaku yang menunjukkan sikap orang munafik atau pola-pola sikap dan perilaku yang yang mengarah kepada indicator sifat nifaq.

Memang tidak semua sikap orang munafik bisa diangkakan misalnya tidak memahami ajaran agama, senang malihat penderitaan dan dengki melihat kebahagiaan orang lain, lebih memperhatikan penampilan zahir daripada penampilan batin, bersembunyi dari manusia dan menantang Allah dengan dosa, sedikit berzikir, lupa kepada Allah, mengingkari takdir, mencari perlindungan selain Allah, mempermainkan keimanan, enngan bertaubat, membeli kesesatan dengan petunjuk, tidak mau tunduk kepada hukum Allah. Namun, bukan berarti prilaku ini tidak bisa diukur. Walaupun tidak bisa dihitung atau diangkakan karena perilaku ini merupakan perbuatan hati. Tapi perilaku ini bisa dilihat dan dipersepsi berdasarkan sikap-sikap yang muncul.

Perilaku orang munafik yang bisa diangkakan berdasarkan intensitas kemunculannya, misalnya; suka berdusta, suka memamerkan amalnya, takabur, bersumpah palsu, meninggalkan salat berjama’ah, bakhil, khianat, suka melakukan tipu daya, mencaci maki, mempercepat salat, malas beribadah, enggan berinfak, membuat kerusakan dimuka bumi dengan dalih melakukan perbaikan, mencela orang yang taat dan saleh, senang menyebarkan berita dusta, menyuruh kemungkaran dan mencegah kema’rufan, mengolok-ngolok al-Qur’an dan Sunnah, melarikan diri dari perperangan, tidak memiliki kepedualian terhadap nasib kaum Muslimin.

Table

Indikator-indikator orang munafik

Yang Tidak Bisa Diangkakan

Yang Bisa Diangkakan

Ø tidak memahami ajaran agama

Ø senang malihat penderitaan dan dengki melihat kebahagiaan orang lain

Ø lebih memperhatikan penampilan zahir daripada penampilan batin

Ø bersembunyi dari manusia dan menantang Allah dengan dosa

Ø sedikit berzikir

Ø lupa kepada Allah

Ø mengingkari takdir

Ø mencari perlindungan selain Allah

Ø mempermainkan keimanan

Ø enngan bertaubat

Ø membeli kesesatan dengan petunjuk

Ø tidak mau tunduk kepada hukum Allah

Ø Suka berdusta

Ø suka memamekan amalnya

Ø takabur

Ø bersumpah palsu

Ø meninggalkan salat berjama’ah

Ø bakhil

Ø khianat

Ø suka melakukan tipu daya

Ø mencaci maki orang lain

Ø mempercepat salat

Ø malas beribadah

Ø enggan berinfak

Ø membuat kerusakan dimuka bumi dengan dalih melakukan perbaikan

Ø mencela orang yang taat dan saleh

Ø senang menyebarkan berita dusta

Ø menyruh kemungkaran dan mencegah kema’rufan

Ø mengolok-ngolok al-Qur’an dan Sunnah

Ø melarikan diri dari perperangan

Ø tidak memiliki kepedualian terhadap nasib kaum Muslimin

III. Akibat-Akibat

Akibat-akibat yang diterima orang minafik dari segala perbuatan yang dilakukannya bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat bagi dirinya sendiri dan akibat perbuatannya terhadap orang lain.

Akibat bagi diri orang munafik itu sendiri dibagi dua juga, yaitu:

a) Akibat yang berasal dari Allah Swt

Misalnya; dihukumi kafir terdapat di dalam QS. Annisa ayat 142 dan Surat An-Nur ayat 47), dihukumi fasik (QS. At-taubah : 67), Allah melarang mensalati jenazah orang munafik (QS. At-Taubah : 48 dan 80), seluruh amalan mereka sia-sia (QS. At-Taubah 69), mereka ditempatkan dineraka paling bawah (QS. An-Nisa’ : 45), dilaknati Allah Swt (QS. At-Taubah: 68), anak dan hartanya akan mengazab dirinya ((QS. At-Taubah : 85), dihinakan oleh Allah di akhirat (QS. At-Taubah : 79), diazab di dunia dan akhirat (QS. At-Taubah : 74).

b) Akibat yang berasal dari manusia (orang disekitarnya)

Misalnya; orang akan mengucilkan mereka dari pergaulan, pergaulannya menjadi sempit, tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, tidak bisa mengembangkan dirinya di dalam masyarakat, temannya sedikit, orang tidak akan mau menolongnya walaupun dia benar-benar butuh pertolongan, dll.

Akibat yang berdampak pada orang lain:

Ø Menimbulkan kerusakan, melakukan kejahatan, dan suka berbuat malapetaka

Ø Orang munafik akan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat

Ø Orang munafik akan menjadi virus yang siap untuk merusak masyarakat

Ø Tatanan masyarakat yang baik akan hancur karena perbuatan orang-orang munafik

Ø Perbuatan orang munafik akan menimbulkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat

Ø Perbuatan orang munafik akan menimbulkan kerugian orang disekitarnya, dll.

IV. Contoh Kasus

Dari dulu hingga sekarang sekarang Negara Indonesia sering dihadapkan pada masalah yang cukup besar yaitu, masalah korupsi dikalangan pejabat negara. Belakangan ini mencuat masalah korupsi dana talangan di Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan oleh aparat penegak hukum. Untuk menangani kasus ini dibuat tim khusus yang dipilih melalui hak angket Bank Century oleh anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Namun masyarakat tidak sepenuhnya bisa menerima keberadaan ketua terpilih dari tim khusus yang menangani kasus ini. Ini menandakan ketidak percayaan masyarakat terhadap individu yang bersangkutan karena masyarakat mengetahui bahwa ketua tim terpilih pernah mengalami kasus korupsi pada decade waktu yang lalu. Namun, dia lolos dari jeratan hukum.

Opini baru bermunculan ditengah-tengah masyarakat yang menganggap Wakil Presiden dan Menteri Ekonomi yang sekarang berada dalam kabinet telibat dalam kasus korupsi dana talangan yang terjadi di Bank Century. Masyarakat menuntut pejabat yang bersangkutan mengundurkan diri atau dinon-aktifkan dari jabatannya sampai kasus ini selesai. Sekali lagi ini menggambarkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat negara.

Tentu ini bukan satu-satunya masalah di negeri ini yang pernah terjadi. Mungkin sudah puluhan bahkan ratusan masalah korupsi terhjadi di negeri ini, mulai dari korupsi kecil-kecilan sampai kepada yang besar. Semakin banyak koruptor yang ditangkap, maka semakin banyak pula muncul koruptor-koruptor baru yang siap beraksi yang kemudian kita ketahui beritanya melalui media masa. Yang melakukan tindak korupsi bukanlah masyarakat biasa, tetapi para pejabat negara yang diberi amanah untuk menjalankan tugasnya. Misalnya para menteri, anggota perwakilan rakyat, bahkan para pejabat yang berada di kalangan Departemen Agama pun banyak yang melakukan korupsi seperti kasus Dana Abadi Umat (DAU) yang di korup oleh menteri agama pada periode pemerintahan yang lalu.

Dari kasus-kasus yang ada kita bisa mengambil kesimpulan rendahnya akhlak para pejabat negara ini. Dan terbukti bahwa mereka adalah orang munafik yang siap mengerogoti bangsa ini perlahan-lahan. Betapa banyak diantara mereka yang berjanji manis pada masyarakat saat kampanye pemilu, menjanjikan ini dan itu. tapi kenyataannya saat mereka menduduki bangku kekuasaan mereka lupa dengan janji mereka dan ironinya mereka malah memakan uang rakyat untuk memuaskan kebutuhan pribadi mereka, orientasi mereka menjadi orientasi untuk mencari keuntungan pribadi bukan untuk menguntungkan masyarakat, membela rakyat, dan menyuarakan suara rakyat.

Phenomena korupsi bukan hanya terjadi saat ini atau hanya di Negara Indonesia saja. Tetapi, beberapa waktu yang lalu dan pada negara yang berbeda-beda, korupsi di kalangan pejabat negara menjadi penyebab utama kehancuran negara mereka.

Sebetulnya maslah ini bisa saja selesai dan jelas penyelesaiannya. Jika, orang yang merasa bertanggungjawab atas masalah ini mau mengaku dan terus terang tanpa menyembunyikan sedikitpun bukti-bukti yang sangat penting. Tapi mereka takut dan sangat cemas untuk jujur pada publik sehingga mereka memilih untuk berdusta kepada publik dengan memainkan kata-kata untuk menyembunyikan kesalahan mereka. Dalam hal ini mereka bukan hanya berdosa kepada manusia tapi juga menyebabkan mereka kafir kepada Allah karena mereka lebih takut kepada hukumnya manusia daripada hokum Allah. Dan mereka mengingkari bahwa Allah melihat semua perbuatan mereka yang disembunyikan kepada manusia.

Cirri-ciri orang munafik yang jika berkata bohong, diberi amanah ia khianati, dan bila berjanji diingkari. Melekat pada diri seorang koruptor, sehingga apabila Negara ini dipegang oleh orang-orang yang bersifat nifaq maka negara ini perlahan-lahan akan hancur.

V. Kesimpulan

Nifak merupakan sifat yang buruk atau tercela (mazmumah). Apabila sifat ini melekat pada individu maka ia bisa menjadi perusak bagi individu itu sendiri, agamanya, imannya, masyarakat, dan Negara. Nifak termasuk juga ke dalam patologi kepribadian dari sudut pandang kepribadian Islam. Karena nifak merupakan akibat dari kondisi kejiwaan cemas (anxiety) yang berlebihan, baik terhadap dirinya maupun orang lain. Sehingga orang munafik tidak mampu mengungkapkan situasi yang sebenarnya agar dia merasa aman. Dia menjadikan nifak sebagai defense mechanismnya. Padahal nifak merupakan penyakit jiwa yang akan membahayakan dirinya dan juga orang lain.

Nifak bisa di ukur dengan statistik atau tanpa statistik berdasarkan bentuk indikator-indikatornya. Karena ada indikator nifak yang bisa dihitung dan ada yang tidak bisa dihitung. Yang bisa dihitung bisa dilihat dari intensitas kemunculannya, sedangkan yang tidak bisa dihitung merupakan indikator yang berkaitan dengan perbuatan hati (abstrak) dan tidak bisa diangkakan.

VI. Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu. 1991. Dosa Dalam Islam. Jakarta : PT Rineke Cipta.

Al-Quranul Karim dan Terjemahan

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1999. Bulughul Maram. Bandung : CV Ponogoro.

Al-Mansor, Ansory. 1998. 48 Macam Perbuatan Dosa. Jakarta : Fajar Interpratama Offset.

Kauma, Fuad. 1997. 35 Karakter Munafik. Yogyakarta : Mitra Pustaka.

Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta : PT Rajagrapindo Persada.

Meraih Kesuksesan Prophetic

“Meraih Kesuksesan Prophetic

Oleh: Syahri Ramadhan Tadun, Mahasiswa Psikologi UIN Sunan KaIijaga (dimuat pada buletin jum'at Al-Rasikh tanggal 29 januari 2010)

Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS Al-Baqarah: 200-201)

Sebagai seorang Muslim kita dianjurkan untuk mempergunakan waktu sebaik mungkin karena merugilah bagi orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya (QS. AL-‘Ashr 1-3). Rasul juga mengajarkan kepada untuk meningkatkan kualitas amal ibadah kita setiap hari karena orang yang amal ibadahnya hari ini sama dengan hari kemaren adalah orang yang merugi dan orang yang amal ibadahnya hari ini lebih baik dari hari kemaren adalah orang yang beruntung. Pepatah Arab mengatakan “Waktu itu laksana pedang, jika kamu tidak memamfaatkannya maka ia akan menebasmu”. Maka merupakan suatu kebijaksanaan jika kita meningkatkan kualitas amal ibadah kita dari waktu ke waktu. Untuk mencapai kualitas kesuksesan yang berorieantasi bukan hanya pada kehidupan dunia tapi juga untuk kehidupan akhirat atau boleh saya sebut dengan “Kesuksesan Prophetic” maka Islam telah mengajarkannya kepada kita.

“Sukses”, siapa sih yang tidak familiar dengan kata yang satu ini? Setiap orang pasti ingin menjadi orang yang ingin sukses, baik itu sukses dalam belajar, sukses dalam membina keluarga, sukses dalam berusaha, sukses dalam karier, dll. Tapi tidak semua orang bisa meraih yang namanya ‘sukses’. Bisa jadi ini terjadi karena diferensiasi metode yang dilakukan orang dalam meraih sukses dan tingkat ketekunan dan kegigihan (keistiqomahan) mereka. Orang yang bisa meraih kesuksesan dalam hidupnya pasti akan senang dan selalu optimis, begitu juga sebaliknya orang yang gagal dalam hidupnya akan pesimis dalam menjalani hidup. Karena itulah watak manusia, mereka tidak bisa mengambil pelajaran (i’tibar/faedah) dibalik realita. Dilain sisi, orang pada umumnya mengidentikkan sukses dengan kebebasan financial, punya asset yang banyak, penghasilan diatas 50 juta perbulan, punya rumah dan mobil mewah. Itukan hanya persepsi nafsu duniawi belaka, tapi realitanya banyak mereka yang punya banyak asset, penghasilan diatas 50 juta perbulan, rumah dan mobil mewah tapi hati mereka tidak tenang setenang seperti apa yang orang miskin banyak pikirkan, jiwa mereka penuh dengan was-was. Namun, tidak sedikit orang yang hidupnya sederhana bisa ‘sukses’ dalam hidupnya, hatinya tenang dan bahagia.

Nah, sekarang bukan saatnya lagi pola pikir kita dikuasai dengan yang namanya ‘sukses berarti finansial’ tapi bukan berarti kita menafikan pentingnya financial, bahkan sangat penting. Oleh karena itu kita harus berhijrah metode meraih sukses dari ‘persepsi financial, duniawi, dan nafsu belaka’ kepada sukses dengan ‘kekuatan spriual’ yang akan mengantarkan hidup kita ‘sukses financial’ dan sukses ‘jiwa’ artinya balance antara duniawi dan ukhrawi.

Langkah sukses pertama, istifaedah, orang bijak selalu bilang “semua peristiwa itu ada hikmahnya”, dalam al-Quran Allah ta’ala juga berfirman” Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs Al-Hasyr: 2). Allah ta’ala tidak pernah sia-sia dalam menciptakan segala sesuatu. Dia menciptakan surga supaya manusia cenderung kepadaNya, Dia menciptakan neraka supaya manusia takut dengan siksaaan-Nya dan senantiasa menjauhi dosa, Allah ta’ala menciptakan manusia yang jahat agar manusia yang hasan bisa menasehati dan saling tolong menolong untuk kebaikan dan taqwa (lihat QS Al-Maidah: 2). Begitu juga kita dalam menghadapi kehidupan dibalik kegagalan yang kita hadapi pasti ada hikmahnya dan dibalik kesuksesan yang kita miliki juga ada hikmahnya karena Allah ta’ala tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa hikmah. Maka, hanya orang-orang yang memiliki wawasan (ilmu) lah yang bisa mengambil faedah dibalik realita kehidupan.

Kedua, istiqamah atau teguh pendirian, roda kehidupan memang tidak selalu berada di atas terkadang kita berada di bagian bawah, badai disertai angin kencang dan hujan selalu menerjang biduk kehidupan yang kita tumpangi, sehingga membuat kita oleng kekiri ataupun kekanan, terkadang biduk kita hampir tenggelam bahkan ada yang tenggelam karena terpaan badai yang kuat dan besar. Namun, orang yang optimis, pantang menyerah dan teguh pendirian akan berusaha sekuat tenaga mencapai pulau sukses mereka “patah dayungnya mereka gunakan tangan sebagai penggantinya, robek layarnya mereka ganti dengan baju mereka, tenggelam biduk mereka, mereka berenang mengarungi lautan walaupun terkadang terombang ambing terhempas ombak”. Orang sukses semuanya berangkat dari perjuangan kecil yang mereka rintis, ini realita kalu kita belajar dari orang-orang sukses yang ada di Indonesia boleh kita lihat biografi mereka, ada yang sekolah sambil jualan di pasar, jadi buruh, jualan gorengan sambil sekolah, dll. Atau para pengusaha yang sukses mereka terkadang juga ada yang bangkrut alias gulung tikar, tapi mereka berusaha bangkit dan bangkit. Ingatlah, tidak semua orang mengarungi samudra dengan kapal yang besar, tapi banyak diantara mereka yang mengarungi samudra dengan biduk kecil, namun mengapa mereka berhasil? Jawabannya “istiqamah”, Allah ta’ala berfirman “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka sendiri yang merubah nasibnya”.(QS Ar-Ra’ad: 11).

Ketiga, istisyarah, Allah ta’ala berfirman di dalam al-Qur’an “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.(QS As-Syura: 38). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa merupakan suatu kewajiban untuk bermusyawarah dalam urusan dunia. Dalam bermusyawarah akan muncul solusi-solusi bermutu dan ide-ide cemerlang yang bisa membantu penyelesaian masalah, karena Allah ta’ala akan membukakan jalan permasalahan bagi siapa yang mengharap rahmat dari musyawarah itu. Orang Minang punya pepatah “duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang” artinya menyelesaikan masalah tanpa musyawarah itu sulit, tapi jika dengan musyawarah masalah itu cepat terselesaikan. Pepatah ini senada dengan apa yang Allah perintahkan dalam al-Qur’an “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu”. (QS Al-Mujadalah: 11).

Keempat, istikharah, hidup itu terkadang pilihan, dalam perkara apaupun kita selalu dihadapkan kepada pilihan. Masing-masing pilihan mesti punya konsekwensi yang terkadang kita ragu dalam menentukan pilihan kita karena mempetimbangkan konsekwensi dari pilihan itu. Banyak orang menyesal setelah mereka menentukan pilihan mereka dan gagal bahkan mereka mengumpat diri mereka sendiri. Ini tentu sangat berbeda dengan orang yang ‘istikharah’, dalam menentukan pilihan mereka selalu meminta pertolongan Allah ta’ala. Kalau pilihan mereka itu berakibat baik pada diri mereka maka mereka akan bersyukur pada Allah ta’ala, tapi jika pilihan mereka itu membuat mereka rugi atau buruk bagi mereka, mereka tetap sabar dan yakin bahwa dibalik realita ini pasti Allah mempersiapkan kebaikan yang banyak. Itulah bedanya orang yang istikharah dan yang tidak. “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. (QS Al-Qashas: 68). Oleh karena itu, bawalah Allah setiap anda menentukan pilihan, insya Allah anda akan mendapatkan kebaikan yang banyak.

Kelima, istijabah, kewajiban manusia adalah berikhtiar (berusaha), apa yang menjadi hasilnya nanti adalah urusan Allah ta’ala. Namun disamping itu kita juga harus beristijabah (berdo’a/memohon) kepada Allah ta’ala sebagai penguat ikhtiar yang telah kita usahakan. Beristijabah kepada Allah ta’ala merupakan suatu ibadah sebagaimana perintah Allah “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.(QS Al-Mu’min: 60) (yang dimaksud menyembah-Ku adalah beribadah kepada-Ku). Disurat lain Allah ta’ala juga berfirman ” Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.(QS Al-Baqarah: 186).

Sebagai seorang Muslim yang menjadi patokan kesuksesan kita adalah Rasulallah saw. Dan para sahabat-sahabatnya, misalnya Umar ra memiliki 70.000 property, Usman ra memiliki property disepanjang wilayah Aris dan Khibar, belum lagi sahabat Abdurrahman bin Auf, Amru bin Ash, Zubair, dan Mu’awiyah, dll. Kesuksesan mereka bukan hanya diakui secara duniawi saja melainkan juga secara ukhrawi mereka adalah para ahli sorga yang Allah janjikan atas mereka. “Bukanlah kaya (sukses) orang yang banyak hartanya, tapi orang yang kaya (sukses) adalah orang yang kaya jiwanya” (HR Bukhari & Muslim dari Abi Hurairah ra).